The Journey into The Deaf World in Indonesia
Oleh
Galuh
Sukmara Ray
[Master
of Sign Linguistics-La Trobe University, Melbourne]
sukmaray@gmail.com
“Melarang seorang anak Tuli untuk tidak menggunakan bahasa isyarat dalam
kehidupan sehari-harinya,
diibaratkan merampas tongkatnya orang Buta, mengambil paksa kursi roda
dari penggunanya.
Pelarangan penggunaan bahasa isyarat sama saja dengan ‘merampas’ hak
setiap individu Tuli dalam mengakses informasi dan pengetahuan dengan bahasa
ibunya”[Vernon,1989]
Pengantar
tentang Ketulian (Deafness)
Terdapat dua sudut pandang yang berbeda mengenai
ketulian,yaitu; sudut pandang klinis atau patologis melihat ketulian sebagai suatu penyakit
atau kecacatan yang harus disembuhkan atau dicegah. Ahli dari sudut pandang klinis ini bertujuan untuk
sebisa mungkin membuat seorang Tuli berfungsi sebagaimana orang normal pada
umumnya. Hal yang terpenting adalah dunia ini adalah “dunia mendengar” dan
seluruh individu harus hidup di dalamnya dan berkompetisi untuk memperoleh
status di dunia ini.
Lain halnya dengan pendapat para ahli dari sudut pandang budaya yang
melihat ketulian dari segi sosio-budaya.
Dalam pandangan ini, ketulian bukan kecacatan atau seharusnya tidak dipandang
sebagai suatu kecacatan. Mereka berpendapat bahwa mendeskripsikan individu tuli
berdasarkan status pendengarannya adalah tidak tepat dan tidak natural.
Individu tuli tidak cacat, hanya berbeda. Hal ini diperkuat oleh Padden &
Humphries (1988) yang menyatakan bahwa ketulian bukan hanya karena kondisi
kerusakan pada pendengarannya, tetapi suatu kondisi yang sosiokultural;yaitu
sebagai suatu identitas. Identitas bagi mereka
sebagai orang tuli yang kaya dengan nilai, bahasa, gaya hidup merupakan kultur
yang mereka banggakan.
Para ahli sosio-budaya berpendapat bahwa pandangan
para ahli klinis merefleksikan paham paternalistik para ahli yang berpendengar
normal serta cenderung bersifat menghakimi daripada mempertimbangkan
karakteristik individu Tuli yang sebenarnya. Salah satu permasalahan utama
adalah bias bahasa, para ahli klinis tidak mempertimbangkan bahasa individu Tuli,
atau dalam banyak kasus, individu Tuli dianggap tidak memiliki bahasa. Dalam pandangan sosio-kultur, komunitas Tuli
tidak mau menggunakan istilah ‘tunarungu’
sama artinya dengan ‘hearing impairment’,
yang artinya sesuatu yang kurang, sesuatu yang rusak, sedangkan mereka tidak
merasa dirinya kurang atau rusak, hanya mereka ‘Tuli’ bukan berarti tidak mampu
melakukan apapun.
Situasi Pendidikan Tuli di Indonesia
Menjadi
penyandang cacat seperti buta, tuli, pincang, retardasi mental di Indonesia
dianggap sebuah tragedi. Mereka dianggap 'abnormal'
dan 'sakit' sehingga dibuat suatu
program untuk menormalisasikan penyandang cacat yang disebut program
rehabilitasi. Karenanya tidak aneh jika kehidupan mereka tersegregasi di
lokasi-lokasi rehabilitasi seperti sekolah luar biasa, pusat rehabilitasi
medis, rumah sakit dan rehabilitasi pelatihan. Apalagi di lokasi rehabilitasi
tidak jarang disediakan pula asrama. Negara ini mendukung kehidupan penyandang
cacat yang tersegregasi di lingkungan 'abnormal', sehingga masyarakat semakin
percaya bahwa menjadi penyandang cacat maupun orang tuli sangat memalukan.
Tidak sedikit para orang tua yang menyembunyikan anaknya yang cacat, atau keluarga
yang malu karena ada anggota keluarganya yang cacat.
Menurut Mairian Corker
(1999) menambahkan bahwa banyak lagi
mitos-mitos lainnya, pada dasarnya mereka tidak pernah dianggap sebagai orang
'normal'. Bagi penyandang cacat hanya tersedia dua pilihan. Pertama, jika tidak
'berhasil' dianggap wajar karena tidak 'normal'. Atau yang kedua, jika
'berhasil' dianggap wajar pula karena ketidak normalan mereka dianggap akan
menghasilkan sesuatu yang luar biasa (di luar kenormalan). Hanya satu hal yang
tidak dianggap wajar yaitu jika masyarakat menganggap mereka sama seperti
dirinya. Kehidupan mereka sangat tidak produktif dan cenderung menjadi
pemalas. Lihat saja saat mereka mencoba
masuk pendidikan 'normal'. Banyak kasus penolakan penyandang cacat di beberapa
perguruan tinggi dengan alasan yang hampir sama. Jika bukan karena tidak sehat
jasmani dan rohani, mereka akan mengatakan infrastruktur mereka tidak siap. Dunia
mereka begitu asing dan gelap. Dunia yang sangat ditakuti orang-orang 'normal'.
Karena masyarakat menciptakan prasangka-prasangka yang negatif yang ditujukan
pada pihak penyandang cacat.
Tragedi itu bertambah
karena orang 'normal' hanya mengenal
mereka sebagai orang-orang yang harus dikasihani dan disantuni. Kecacatan dalam
persepsi masyarakat ini adalah sebuah tragedi. Penyandang cacat dipandang tidak
berbeda dengan orang yang terkena musibah. Seperti sebuah kisah, yang dialami
oleh seorang tuli, ketuliannya bagi orang-orang tidak cacat bukan hanya berarti
“tidak mendengar” tapi juga “kehilangan pendengaran”, yang membuatnya
dikasihani, diberi derma, diperlakukan sebagai obyek yang tak berdaya dan
rendah kemampuan. Tanpa disadari sikap tersebut menunjukkan sebuah hubungan
yang tak sejajar, yang memisahkan dua dunia antara orang-orang yang merasa beruntung “bertubuh normal” dengan
orang-orang yang dianggap tidak beruntung karena “bertubuh tidak normal”
(Dzulbahaihaqi , 2005)
Di Indonesia,tidak banyak pakar pendidikan yang menyadari bahwa
seorang anak Tuli adalah sosok anak yang bilingual yang menggunakan dua bahasa
yang berbeda, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa isyarat Indonesia. Kebanyakan
dari murid-murid Tuli menggunakan bahasa isyarat Indonesia sebagai bahasa
pertama mereka, oleh karenanya mereka harus memiliki akses dalam proses belajar
melalui bahasa isyarat tersebut.
Banyak guru-guru di SLB B ( Sekolah
Luar Biasa untuk B-Tuli/Tuna Rungu) di dalam menggunakan metode
komunikasinya ketika mengajar di kelas cenderung menolak untuk tidak
menggunakan bahasa isyarat di kelas.Alasannya bisa ditebak yaitu mereka lebih
percaya bahwa sign language tidak memberikan peningkatan yang berarti dalam
perkembangan kemampuan literasi anak Tuli, dan mereka lebih percaya bahwa
bahasa isyarat alami yang digunakan oleh anak-anak Tuli bukanlah sebuah bahasa
yang benar, oleh karenanya mereka mencoba untuk mengajarinya ’bahasa yang
benar’ menurut pandangan mereka adalah bahasa Indonesia secara oral.
Banyak sekolah di Indonesia mengajarkan
anak-anak Tuli seperti mereka mengajar anak-anak yang
bisa mendengar, dan mengabaikan fakta bahwa mereka memiliki kebutuhan metode
pendidikan yang berbeda. Ketika seorang anak normal mendapatkan kesempatan
untuk pergi ke sekolah, seorang anak Tuli seringkali tidak
mendapatkan dukungan serupa. Tidak ada bahan-bahan ajar yang sesuai untuk kaum Tuli, dan tidak ada pula kesadaran dari guru,
orangtua, dan masyarakat.
Seorang guru (baik berlatar belakang Pendidikan
Luar Biasa, atau bukan) seharusnya memiliki metode tersendiri dalam mendidik
anak-anak dengan kebutuhan khusus, atau minimal memahami bahwa perbedaan mereka
membutuhkan perlakuan yang sedikit berbeda. Ironisnya, pendidikan untuk Tuli di SLB sekarang inipun penuh dengan
paksaan-paksaan pada anak Tuli untuk bisa
berbahasa sebagaimana layaknya orang-orang normal. Mereka dipaksa untuk bisa
berbahasa Oral, bahkan anak-anak yang ekspresif dengan isyaratnya mereka cap bodoh, tolol, atau terbelakang. Suatu hal yang
benar-benar jauh dari idealisme seorang guru sebagai individu yang digugu dan
ditiru.
Sebagai
anggota masyarakat yang hidup di luar kurva normal, anak-anak Tuli (dan anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya)
seringkali disisihkan dalam masyarakat, bahkan oleh orang tua sendiri. Kaum Tuli, seringkali ditolak untuk mendapatkan pendidikan
umum, dengan alasan infrastruktur yang belum siap. Hal ini mencerminkan
penolakan terhadap mereka oleh sebagian anggota masyarakat. Ironisnya, banyak
dari pelaku ini adalah mereka yang berpendidikan tinggi, dan mengaku guru.
Mungkin
sikap ini merupakan hasil propaganda dokter-dokter (yang mendiagnosis Hearing
Impairment seorang pasien) yang belum mengerti hakikat Tuli atau pemerintah sendiri yang menganggap bahwa
kecatatan merupakan suatu abnormalitas yang tersegregasi di lingkungan
tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepertinya belum siap untuk
menerima perbedaan dan mengakomodasinya. Akibatnya, sebagian anggota masyarakat
ini menutup pintu bagi orang-orang dengan kemampuan yang berbeda untuk bisa
ikut aktif berpartisipasi dalam masyarakat, dengan pandangan penuh rasa kasihan,
diskriminasi.
Hal
menyedihkan lainnya yang terjadi di Indonesia terhadap mereka kaum Difabel, khususnya Tuli adalah kekerasan. Entah itu dipukul, dilarang berkomunikasi secara alami,
sampai diberi stigma-stigma yang melukai mereka secara psikologis seperti
dihina, dan dicap bodoh. Dan yang menggugah emosi, kekerasan ini justru terjadi
di rumah dan sekolah-sekolah (SLB), di mana seharusnya mereka dididik. Ketika
mereka tidak bisa memahami sesuatu atau menyampaikan sesuatu atau memakai
Isyarat penuh ekspresi, tidak jarang benda-benda melayang ke tangan atau mulut
mereka. Mereka ditekan, diintimidasi, sehingga sadar tidak sadar guru-guru ini
justru menghancurkan dan mengubur pribadi si anak sebagai seorang manusia yang
memiliki perbedaan yang unik. Menurut
laporan dari WFD (World Federation for the Deaf) terdapat 70 juta komunitas
Tuli di seluruh dunia, dimana 0.5% dari mereka yang berusia 10-17 tahun justru
memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah dibandingkan anak yang mendengar
normal usia 9-10 tahun. Hal ini juga terjadi di Indonesia, rata-rata anak-anak
Tuli sampai dewasa Tuli memiliki kemampuan
baca-tulis yang rendah dibawa rata-rata anak yang mendengar normal usia
9-10 tahun. Mereka yang lulus dari SLB B maupun lulus SMA umum ,dan sebagian
kecil yang sempat menuntut pendidikan tinggi di Universitas pun mengalami
kesulitan dalam memahami bacaan dan tulisan dalam bahasa Indonesia.
Ada
beberapa kasus yang sangat memprihatinkan sekali mengenai kondisi kemampuan
pemahaman bahasa Indonesia bagi remaja dan dewasa Tuli lulusan SLB, adalah
sebagai berikut:
Figure 1: Tulisan Dhedos, usia 20 tahun
”koksa,...masih dari temannya Deaf iri kasar liet bagus saya gaul cakep
maniz mugkin cewek-cewek banyak suka ama tapi sebab cakep kok aduh pusing
masalahku banget hati piye...aku tau dah sedih ucek gak papa mungkin boleh
cowok2 temannya banyak lagi berantam ama aku bancur terima gak pa pa nggaknya
kalau jawabnya bisa Allah dosa sama Deaf ya???makasih...”
Figure 2: Tulisan Kiky,
24 tahun
“Saya kopi
hitam minum tidak bisa saya, karena rasa suka tidak dan gelas kopi hitam meja
taruh di atas”
Figure 3: Tulisan Ibra,
18 tahun
Met bintang bwt slm suruh kita semua Indonesia krn da janji bnr2 sdr
akan baik Hpdku Nrml or Turarungu jgn mslh hormat yg sprti kulit banget jauh Gpp
xe.. Sy mw sprti mgkn bs klo cnth akan kita semua yg soal'ny mslh atas liat bs
do'a sdr km bnr t4 bila ntr hati2 dulu..
Melihat
susunan kalimat di atas tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak memahami tata
bahasa Indonesia yang benar dan baik,meskipun mereka dididik di SLB terbaik
dengan metode oral dan total communication, tetap tidak memberikan hasil yang
berarti. Sangat memprihatinkan sekali! Sepanjang hari mereka di kelas
diwajibkan membaca gerak bibir guru, mengucapkan kata-kata yang tidak bisa mereka
dengar, sungguh sangat melelahkan jika waktunya hanya dihabiskan untuk
mengulang-ngulang melafalkan kosakata dengan benar. Sedangkan anak-anak yang
mendengar disekolah umum sudah mempelajari materi pelajaran lebih jauh lagi.
Situasi anak-anak Tuli yang berada di SLB yang menggunakan metode murni oral
dan total communication, sebagai bentuk pengekangan akan hak mereka untuk
menggunakan/menikmati bahasa ibunya tanpa rasa takut, dapat diilustrasikan
sebagai berikut;
Hak Asasi
Komunitas Tuli
Menurut
riset yang dilakukan oleh WFD telah dikemukakan bahwa 80% dari 70 juta penduduk
Tuli diseluruh dunia tidak mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Artinya
1-2% saja yang dapat menikmati haknya dalam pendidikan dengan menggunakan
bahasa isyarat. Terutama bagi komunitas wanita Tuli yang sangat lemah dan
kurang beruntung selalu tersingkirkan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karenanya,
WFD tetap mengupayakan agar setiap individu Tuli dapat terlibat aktif dalam
kehidupan masyarakat yang lebih luas tanpa pandang bulu.
Bagaimana kIta dapat memahami hak-hak setiap anak
Tuli? Ada empat faktor dasar yang sangat penting terhadap perlindungan akan hak
asasi setiap anak Tuli adalah:
1. Pengakuan dan
penggunaan bahasa isyarat, termasuk pengakuan untuk menghormati dan menghargai kultur
dan identitas Tuli. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa komunitas Tuli adalah
sebuah kelompok minoritas linguistik (a linguistics minority group),
yaitu bahasa isyarat memiliki kelengkapan grammar
structure dan sign linguistics
yang sejajar dengan bahasa lisan lainnya.
2. Sistem
pendidikan Bilingual bagi individu Tuli yaitu penggunaan bahasa isyarat dan
bahasa nasional. Pendidikan bilingual dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi anak-anak Tuli yang memiliki kemampuan baca-tulis
dibawah rata-rata atau rendah.
3. Aksesibilitas
dalam segala aspek kehidupan dan informasi.
4. Penterjemah
bahasa isyarat (sign language interpreters) dalam setiap even.
Bagaimanakah
seharusnya pendidikan Inklusi bagi Komunitas Deaf di Indonesia?
...Satu Nusa, Satu Bangsa, Dua Bahasa
Kita...
Sepenggal kalimat
di atas (yang merupakan potongan sebuah lagu kebangsaan) menunjukkan tentang
kondisi kaum Tuli di seluruh dunia, tidak terkecuali di
Indonesia. Mereka bisa berasal dari semua negara, mereka merupakan anggota
sebuah bangsa, tapi yang unik, mereka merupakan kaum bilingual (dua bahasa).
Bahasa alami (dan mungkin juga bahasa pengantar pendidikan) mereka adalah
bahasa Isyarat, tapi di masyarakat mereka juga harus mampu memakai bahasa lokal,
bahasa setempat. Maksud dari
bahasa lokal di sini bukan semata-mata mereka berkomunikasi secara oral dengan
bahasa lokal. Bisa jadi mereka memang sama sekali tidak berkomunikasi secara
oral, tapi tetap menulis dan membaca tulisan-tulisan yang sesuai dengan konteks
lokal daerah asal masing-masing Tuli.
Namun yang amat
disayangkan, metode pendidikan untuk Tuli di Indonesia
sampai sekarang belum ada yang memuaskan. Memang, bahasa Isyarat di Indonesia
telah distandarkan (SIBI) sesuai dengan tata bahasa, sintaksis, dan morfologi
kata, sehingga untuk hampir semua kata dasar memiliki Isyaratnya, dan untuk
menambah kosakata, Isyarat dalam SIBI ini dilengkapi pula dengan Isyarat yang
mewakili imbuhan.
Bahasa Isyarat
semacam ini cukup sulit dipelajari menurut perspektif Tuli. Karena bahasanya tidak mengikuti logika berbahasa mereka, dan menghambat
kekayaan berbahasa mereka. Tidak
semua orang-orang tuli setuju dengan Kamus SIBI, atau dengan kata lain, Kamus
SIBI bukan representasi bahasa isyarat orang-orang Tuli Indonesia. Kalau anda belajar SIBI mati-matian, lalu
setelah itu anda merasa akan bisa berkomunikasi dengan mereka, anda salah. Anda
akan menemukan bahasa isyarat yang berbeda dengan SIBI. Dari satu daerah ke
daerah lain, anda akan menemukan keberagaman bahasa isyarat. Antar SLB B pun,
anda bisa menemukan bahasa isyarat yang beda pula. Lalu, sebagai orang hearing,
anda pun "marah", bingung, mengapa tidak ada bahasa isyarat baku? Tapi, anda mungkin
lupa, bahwa orang-orang tuli sudah sekian lama (di)bungkam. Selama ini kita
hanya mendengar "lembaga resmi", sehingga kita tidak pernah tahu
gejolak yang terjadi.
Berikut adalah contoh isyarat dalam SIBI, yaitu bahasa
Indonesia secara lisan yang diisyaratkan bersamaan dan mengaburkan makna bagi
kaum Tuli, misalnya;
1.
Isyarat dalam SIBI menggunakan 2-4 isyarat untuk satu kata,
misalnya ‘keberangkatan’ – yang akan di isyaratkan satu per satu yaitu KE-BER-ANGKAT-AN,
atau PERJALANAN yang akan diisyaratkan Per-jalan-an, bahkan mengaburkan
makna dengan 1 isyarat ‘jalan’ dalam SIBI untuk kata berjalan, jalan solo,
jalan kaki, perjalanan, jalan-jalan.
2.
Susunan kalimat dalam isyarat SIBI menggunakan tata
bahasa Indonesia seperti S-P-0 atau S-P-O-K yang sangat berbeda dengan tata
bahasa bahasa isyarat alami dari komunitas Tuli
3.
Isyarat SIBI untuk kata ‘ARANG’ dengan gerakan tangan
seperti sedang membakar atau mengipasi arang untuk membuat sate, tetapi jika
sedang ingin mengisyaratkan ‘mengarang’ yang artinya menulis karangan tetapi
menggunakan isyarat dasar ‘arang’ untuk sate digunakan untuk isyarat mengarang
–kadang hal ini tidak logis.
Sedangkan tata bahasa isyarat yang digunakan oleh
komunitas Tuli sendiri adalah sebagai berikut;
1.
Contoh penggunaan isyarat dalam tata bahasa isyarat di
Amerika (American Sign Language) adalah sebagai berikut:
Sumber
: A Basic Course in American Sign Language, T.J Publisher
Struktur tata bahasa
isyarat di atas adalah sebagai berikut;
·
Kalimat bahasa isyarat Amerika : I EAT WILL I
·
Kalimat bahasa Inggris (diterjemahkan) : I WILL EAT
Hal ini juga
terjadi di Indonesia, yaitu penggunaan bahasa isyarat Indonesia oleh komunitas
Tuli selalu S-O-P bukannya S-P-O:
Kalimat bahasa Indonesia : Saya
tidak suka minum kopi
Kalimat bahasa Isyarat: Kopi-minum-saya-tidak suka
Seorang anak Tuli yang sejak
lahir menggunakan tata bahasa isyarat Indonesia, akan mengalami kesulitan
ketika menuliskan apa yang ia isyaratkan ke dalam tata bahasa Indonesia yang
benar. Hal ini membuktikan bahwa seorang anak Tuli adalah seorang anak
bilingual, hal ini sesuai dengan pernyataan;
“Every Deaf child, whatever the level of
his/her hearing loss, should have the rights to grow up bilingual. By knowing
and using both a sign language and an oral language (in its writen, when possible, in its spoken modality), the child will
attain his/her full cognitive, linguistic and social capabilities
(Grosjean,1982)”
Kesimpulan yang dapat kita tarik
adalah bahwa pendidikan Inklusif yang tepat untuk komunitas Tuli adalah:
1. Pihak sekolah atau universitas
mampu memberi ruang perbedaan
kepada mereka untuk menggunakan hak-haknya adalah sebuah langkah terbaik untuk
menjadikan kehidupannya ‘normal’ tanpa ‘menormalkan’ apa yang sudah diberikan
oleh Tuhan.
2. Menciptakan
suasana yang bilingual di kelas, dimana bahasa pengantar pendidikannya adalah
bahasa isyarat sebagai bahasa ibu mereka untuk memahami materi-materi di kelas,
dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua yang bisa ditekankan pada kemampuan
menulis dan membaca-jika ada yang memiliki sisa pendengaran kemampuan berbahasa
Indonesia bisa dengan oral,tetapi tetap tidak menghilangkan hak mereka, yaitu
mengakses dg bahasa isyarat.
3. Penyediaan
penterjemah bahasa isyarat dari pihak sekolah atau universitas sebagai salah
satu upaya memberikan layanan bagi mereka di kelas. Seorang penterjemah isyarat
harus memiliki kode etik tertentu untuk menjaga privasi klien-nya atau menjamin
informasi dapat tersampaikan dengan baik. Penterjemah yang mengurangi informasi
atau menambah informasi, sesungguhnya telah merampas hak individu Tuli untuk
mendapatkan informasi yang jujur dan akurat.Penterjemah bahasa isyarat harus
diseleksi beberapa tahapan, bukan hanya bisa menggerakan tangan saja. Selain
itu pihak Universitas atau sekolah juga menyediakan notetaker yang bekerja
untuk mencatat apa yang dibicarakan oleh dosen atau guru atau dibahas oleh
teman-teman di kelas sehingga tidak menganggu konsentrasi si murid atau
mahasiswa Tuli dalam memperhatikan penterjemah bahasa isyarat.
4. Adanya
language support bagi mereka yang membutuhkan bantuan dalam memahami atau
menulis artikel,tugas, makalah. Hal ini untuk membantu mereka memiliki
pemahaman yang maksimal terhadap materi yang disampaikan di kelas.
5. Setting kelas
diatur seefektif mungkin untuk menghindari gangguan-gangguan yang tidak
diiinginkan, misalnya;tempat duduk diatur membentuk U supaya si murid atau
mahasiswa Tuli bisa melihat gerak bibir teman-teman lain disamping
memperhatikan penterjemah bahasa isyarat. Dosen atau guru jangan membelakangi
jendela karena cahaya dari jendela dapat membuat wajah guru atau dosen menjadi
gelap sehingga tidak dapat ditangkap gerak bibirnya.
6. Kelas
hendaknya dibatasi jumlahnya sehingga tidak terlalu memberikan banyak gangguan
yang dapat memecahkan konsentrasi.
7. Bagi siswa
atau mahasiswa Tuli yang menggunakan oral, bisa dengan pendamping yang akan
‘mengucapkan kembali’ apa yang dibicarakan dosen atau guru dengan gerak bibir
yang jelas secara face-to-face. Ruangan hendaknya diruang yang tenang dan tidak
bising dan terang, karena komunitas Tuli akan menggunakan matanya untuk membaca
gerak bibir setiap orang dan itu sangat melelahkan.
8. Pendidikan
Inklusif yang tepat bagi komunitas Tuli adalah meyakini bahwa setiap anak
adalah cerdas, setiap anak adalah juara, setiap anak adalah unik dan berbeda,
menjadi berani berbeda adalah bagian dari identitas dirinya. Pendidikan
inklusif hendaknya tidak menghilangkan hak linguistics setiap individu dalam
mengakses informasi dan pengetahuan. Situasi kelas bilingual yang inklusif
adalah seperti foto dibawah ini:
Sekali lagi, teringat ucapan seorang kawan
sejati saya, bahwa dengan memberi ruang pada perbedaan kita dapat
menyatukan dua dunia yang berbeda. Orang-orang Tuli tersingkir dari kehidupan
sehari-hari karena perbedaan mereka tidak dikenali. Jangan lupa, rintangan
mereka adalah bahasa, yang sama sekali tidak berhubungan dengan lingkungan yang
tidak akses. Jadi kita harus berpikir bahasa sebagai identitas kultural.
Karenanya, berbeda itu penting bagi orang-orang Tuli. Menempuh pendidikan di
sekolah khusus yang mengajarkan bahasa isyarat juga penting untuk
mempertahankan bahasa mereka, menyediakan penterjemah bahasa isyarat bagi murid
tuli yang sekolah di sekolah umum pun juga sangat penting untuk memudahkan
mereka mengakses informasi di kelas tanpa menghilangkan bahasa mereka. Hak mereka sudah diatur dalam Vienna Declaration and Programme of Action
yang menyatakan bahwa :
“ … the
persons belonging own culture to national or ethnic, religious and linguistic
minorities have their right to enjoy their own culture, to
profess and practise their own religion and to use their own language in
private and in public, freely and without interference or any
form of discrimination”, juga dalam Convention on the Rights of the
Child, artikel 30 : “ ….right to enjoy
his Or her own culture, ….., or to use his or her
own language.”
Tentunya pernyataan
bahasa isyarat sebagai bahasa yang memiliki struktur tata bahasa dan linguistik
tersendiri sudah dibuktikan oleh banyak peneliti diseluruh dunia dan diakui
oleh UN, salah satunya adalah “Sign language is a complex language with its
own syntax, a ’very richly developed language” (Vygotsky, 1996a, p.91). Sign
language is a language which uses hands to give the meanings, which is to be
understood through visual way. Sign language like other spoken language, has
phonology, morphology, syntax, semantic and linguistics rules to be called as a
’language’. Sign languages are visual-gestural languages, while spoken
languages are auditory-vocal languages (Markku Jokinen, 2005).
============ ***
==============