Minggu, 02 November 2014

RINGKASAN PERJALANAN ISU DISABILITAS MENUJU HAK-HAK, KRONOLOGI BERDASARKAN TAHAPAN TAHUN

SEJARAH TERBENTUKNYA KONVENSI
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENINGKATAN
HAK ASASI DAN MARTABAT PENYANDANG CACAT
Di PBB

Usaha usaha menuju pemenuhan hak – hak asasi manusia yang menyandang kecacatan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah dimulai sejak:

Tahun 1971, dimana diadopsinya “Deklarasi tentang Hak-hak Penyandang Cacat Mental Retardasi” (Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons) yang berbicara tentang peningkatan kehidupan komunitas penyandang cacat mental retardasi.

Tahun 1975, Sidang umum mengadopsi “Deklarasi tetang Hak asasi Penyandang Cacat” (Declaration on the Rights of Disabled Persons) dalam usaha meningkatkan hak sipil dan politik Penyandang cacat.

Tahun 1976, Sidang umum medeklarasikan Tahun International Penyandang Cacat 1981 (1981 The International Year of Disabled Persons) menandai tekad penyandang cacat untuk turut berpartisipasi penuh dalam pembangunan, dalam kaitannya dengan tahun International Penyandang Cacat usaha usaha lainnya berlanjut seperti PBB mengumpulkan dana untuk peringatan tersebut dari Negara anggota dan terkumpul 510,000 dolar untuk aktivitas peringatan pada tahun 1981 yang di selenggarakan oleg Negara-negara, organisasi dan masyarakat penyandang cacat termasuk di Indonesia. Wujud kepedulian terlihat di Jakarta dengan dikeluarkannya “Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 66 Tahun 1981 tentang Ketentuan Penyediaan Sarana/Perlengkapan bagi Penderita Cacat pada Bangunan-bangunan Fasilitas Umum,Pusat Pertokoan/Perkantoran dan Perumahan Flat”.

Tahun 1982, Sebagai tindak lanjut dari Tahun International Penyandang cacat, PBB mengadopsi “Program Aksi Dunia tentang Penyandang Cacat” (World Programme of Action Concerning Disabled Persons) dan menetapkan tahun 1983 – 1992 menjadi Dekade PBB untuk Penyandang cacat.

Pengajuan tentang perlunya Perjanjian International tentang hak Penyandang cacat awalnya pada tahun 1987 dalam pertemuan para ahli dan organisasi kecacatan dalam review pertengahan Dekade PBB Penyandang cacat di Italy, Pertemuan Italy mengajukan draft outline Perjanjian pada Sidang umum dibulan October, tapi belum didapatkan kesepakatan untuk ditindak lanjuti, Lagi di tahun 1989 hasil pertemuan di Swedia diangkat kembali pengajuan Usulan Konvensi dan kembali gagal, tapi draft ini menjadi cikal bakal konsep Peraturan standar (Standard Rules)

Tahun 1990, Sidang umum mengadopsi “Pedoman Aksi Tallinn atas Pengembangan sumber daya manusia dalam ruang lingkup kecacatan” (Tallinn Guidelines for Action on Human Resources Development in the Field of Disabilities)

Tahun 1991, Di adopsi pula  “Prinsip-prinsip Perlindungan orang dengan Penyakit mental dan meningkatan perawatan kesehatan mental” (Principles for the Protection of Persons with Mental Illness and the improvement of Mental health care)

Tahun 1993, ”Peraturan standar tentang Kesamaan kesempatan untuk Penyandang cacat”  (Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Person with Disabilities) diadopsi oleh Sidang Umum, juga pada tahun tersebut di putuskan bahwa tanggal 3 Desember menjadi Hari International Penyandang cacat / Hipenca (International Day of Disabled Persons / IDDP) dimana di Indonesia telah menjadi agenda tahunan masyarakat penyandang cacat untuk diperingati.

Tahun 1994,  Ben Lindqvist salah seorang activist tuna netra asal Swedia yang juga pendiri Disabled Peoples International (DPI berdiri tahun 1981)  di tunjuk sebagai Special rapporteur  terhadap Standard Rules .

Tahun 1998, Komisi Hak Asasi Manusia meloloskan Resolusi No. 31 tahun 1998, “Hak asasi orang-orang dengan Kecacatan” (Human Rights of Persons with Disabilities) yang berisi pengakuan tanggung jawab secara umum terhadap penyandang cacat dalam mandatnya.

Pada tahun 2000, Rapat kerja tingkat dunia organisasi non pemerintah (NGO) dibidang kecacatan dimana hadir organisasi kecacatan tingkat nasional maupun International, menyetujui di dalam ”Deklarasi Beijing tentang Hak penyandang cacat dalam Era baru”
mengajukan sebuah Konvensi bagi hak-hak asasi penyandang cacat.

Tahun 2001, Pada Konferensi Durban di bulan September Meksiko menegosiasikan kembali secara formal akan kebutuhan Konvensi, yang ditindak lanjuti pada sidang umum PBB di bulan Desember, dikeluarkan Resolusi No. 56/168 untuk pembentukan Ad Hoc Committee dengan mandat ” ...mempertimbangkan usulan sebuah Konvensi yang komprehensif dan integral dalam rangka meningkatkan dan melindungi Hak dan Martabat Penyandang cacat berdasarkan pendekatan secara holistic dari pekerjaan yang telah dilakukan pada lingkup pengembangan sosial, hak asasi manusia, dan non diskriminasi dengan memperhatikan rekomendasi dari Komisi HAM, dan Komisi Pengembangan Sosial” dalam Pedoman pembentukan komitte sejak awal sudah tergambar keterlibatan seluruh pihak pemangku kepentingan yang relevan termasuk negara anggota PBB, Peninjau PBB, Badan dan organisasi PBB terkait, Special Raporteur untuk kecacatan, para lembaga HAM tingkat nasional, organisasi non pemerintah termasuk organisasi kecacatan yang duduk dalam satu suara yang dinamakan International Disability Caucus (IDC)

Sidang - Sidang Pembahasan:                                                       
29 Juli – 9 Agustus 2002
Sidang  Ad Hoc Committee pertama membahas Dasar Pemikiran dari Konvensi.
16 – 27 Juni 2003
            Sidang Ad Hoc Committee kedua diputuskan pembuatan draft teks Perjanjian dan Kelompok kerja serta keangotaannya dibentuk.
5 – 16 Januari 2004
            Rapat Kelompok kerja menyelesaikan draft teks Perjanjian. Kelompok kerja terdiri dari 27 perwakilan pemerintah, 12 perwakilan Ornop dan Orca, dan satu perwakilan Komisi Hak Azasi.
24 Mei – 4 Juni 2004
            Sidang Ad Hoc Committee ketiga, pembacaan pertama kali hasil kelompok kerja, Pembahasan, Pengajuan usulan perubahan draft teks dan kompilasi dokumen perubahan, dalam sidang ini beberapa isu ditunda untuk diputuskan antara lain tentang Definisi, Monitoring, dan Ketetapan akhir. Dalam sidang ini selain hadir secara reguler perwakilan Departemen luar negeri di PBB, hadir juga aparat pemerintah dari departemen teknis (Departemen Sosial)
23 Agustus – 3 September 2004
            Sidang Ad Hoc Committee keempat. Menyelesaikan Pembacaan teks pertama kali secara lengkap,  dan negosiasi informal terhadap teks dimulai, serta merview kembali usulan-usulan perubahan, kelompok kerja menyelesaikan pasal 1 – 15.
24 Januari – 4 Februari 2005
            Sidang Ad Hoc Committee kelima, negosiasi informal dilanjutkan, kelompok kerja memperbaiki pasal 7 – 15.
1 Agustus – 12 Agustus 2005
            Sidang Ad Hoc Committee keenam, melanjutkan negosiasi informal, juga mengadakan pertemuan informal dengan Ketua sidang .
16 Januari – 3 Februari 2006
            Sidang Ad Hoc Committee ketujuh, negosiasi dilanjutkan, sesi informal dengan ketua sidang selesai untuk agenda pegabungan  perubahan. Pada sidang ketujuh ini hadir untuk pertama kali perwakilan penyandang cacat dari Indonesia yaitu bapak Setia Adi Purwanta yang berpartisipasi lewat Organisasi non pemerintah (NGO)
14 – 25 Agustus 2006
            Sidang Ad Hoc Committee kedelapan. Persetujuan akan teks di terima oleh Sidang secara menyeluruh, dalam sessi terakhir pembahasan ini Hadir juga perwakilan dari Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Ibu Maulani A Rotinsulu bergabung lewat organisasi koordinasi Internationalnya yaitu Disabled Peoples’ International (DPI) yang secara aktif berperan dalam IDC sejak pertama proses pembahasan Konvensi.
5 Desember 2006
            Hasil Ad Hoc Committee kedelapan, teks final Konvensi diajukan kepada Sidang Umum PBB untuk di Adopsi.
13 Desember 2006
            Sidang Umum PBB mensahkan Konvensi dengan nama ” Konvensi  tentang Hak asasi Penyandang Cacat” (Convention on The Rights of Person with Disability / CRPD) Resolusi No. 61/106.
30 Maret 2007
            Konvensi dibuka untuk Penandatangan, dan Indonesia mengirimkan Departemen teknis untuk menandatangani yaitu Departemen Sosial Republik Indonesia, dalam delegasi penanda tanganan hadir Menteri Sosial RI Bapak Bactiar Chamsyah, SE, Direktur Jendral Rehabilitasi Sosial Dept. Sosial RI Bapak Sunusi Makmur, serta Ketua Umum Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Bapak Siswadi. 


Rabu, 24 September 2014

Draft_RUU Penyandang Disabilitas_versi 24 September 2014, BAB III - Pemenuhan Hak

BAB IV

PELAKSANAAN PENGHORMATAN, PERLINDUNGAN, DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS


Bagian Kesatu

Umum


Pasal 26
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan:
a.    perencanaan pelaksanaan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas;
b.   pelaksanaan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas; dan
c.    evaluasi pelaksanaan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
Pasal 27
Perencanaan pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas wajib dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui penyusunan cetak biru implementasi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Pasal 28
Dalam rangka melaksanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk mekanisme koordinasi baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Pasal 29
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan mekanisme koordinasi  di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, bertugas:
a.  mewujudkan harmonisasi program dan kebijakan dalam rangka pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas;
b. menjamin pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas berjalan dengan efektif; dan
c.  mewujudkan penggunaan anggaran dalam pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas berjalan dengan efisien.
Pasal 30
(1)  Mekanisme koordinasi di tingkat pusat dipimpin oleh Wakil Presiden.
(2)  Mekanisme koordinasi di tingkat provinsi dipimpin oleh Wakil Gubernur.
(3)  Mekanisme koordinasi di tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh Wakil Bupati/Walikota.
Pasal 31
Cetak biru implementasi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak  Penyandang Disabilitas dan mekanisme koordinasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 dibentuk dan disahkan dengan:
a.    peraturan Presiden untuk tingkat nasional;
b.   peraturan Gubernur untuk tingkat Provinsi; dan
c.    peraturan Bupati/Walikota tingkat Kabupaten/Kota.

Pasal 32
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
(2)  Evaluasi terhadap pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilaporkan setiap 1 (satu) tahun.
(3)  Laporan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipublikasikan melalui media cetak dan elektronik dan dapat diakses oleh masyarakat.

Bagian Kedua

Keadilan dan Perlindungan Hukum

Pasal 33
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin dan melindungi Hak Penyandang Disabilitas sebagai subyek hukum untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang sama dengan lainnya di semua aspek kehidupan.

Pasal 34
(1)  Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri.
(2)  Penetapan pengadilan negeri mengenai ketidakcakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan melalui permohonan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal Penyandang Disabilitas.
(3)  Permohonan penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan alasan yang jelas dan wajib melampirkan bukti dari psikolog, psikiater, atau tenaga ahli profesional.
(4)  Bukti yang disampaikan oleh pemohon dilakukan penilaian yang dilakukan tim independen yang dibentuk oleh Ketua Pengadilan negeri.
(5)  Tim independen sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) memiliki kompetensi dan tidak memihak.
(6)  Tim independen sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) terdiri dari petugas pengadilan, petugas kesehatan, dan organisasi penyandang disabilitas yang bertugas untuk menilai ketidakcakapan Penyandang Disabilitas yang dimohonkan.
(7)  Hasil penilaian yang dilakukan oleh tim independen dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(8)  Ketua Pengadilan Negeri mengambil keputusan berdasarkan penilaian yang dilakukan tim independen dengan memperhatikan:
a.   penghormatan terhadap hak, kehendak, dan pilihan penyandang disabilitas;
b.  keadaan penyandang disabilitas;
c.  kepentingan terbaik bagi penyandang disabilitas; dan
d.  konflik kepentingan dan pengaruh yang tidak semestinya


Pasal 35
(1)  Jangka waktu ketetapan pengadilan negeri mengenai ketidakcakapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) berlaku paling lama 1 (satu) tahun.
(2)  Pembatalan penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diajukan ke Mahkamah Agung.
(3)  Pengajuan pembatalan seperti tercantum pada ayat (1) diajukan oleh Penyandang Disabilitas atau pihak yang berkepentingan dengan melampirkan bukti berupa penilaian dari tenaga terlatih dan/atau organisasi penyandang disabilitas bahwa yang bersangkutan dinilai mampu dan cakap untuk mengambil keputusan
 (4)  Permohonan pembatalan penetapan pengadilan ke Mahkamah Agung tidak dikenai biaya. 


Pasal 36
(1)   Penyandang Disabilitas berhak menunjuk seseorang untuk mewakili kepentingannya pada saat Penyandang Disabilitas ditetapkan tidak cakap oleh Pengadilan Negeri.
(2)   Dalam hal seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk mewakili kepentingan Penyandang Disabilitas melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah, berkurang atau hilangnya hak kepemilikan Penyandang Disabilitas wajib mendapat persetujuan dari Pengadilan Negeri.
Pasal 37
(1)     Lembaga Penegak hukum wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan.
(2)     Akomodasi yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a.  adanya penerjemah bahasa isyarat dan/atau pendamping yang dipercayai dan memahami Penyandang Disabilitas dalam setiap proses peradilan;
b.  adanya ruangan tahanan khusus bagi Penyandang Disabilitas;
c.  adanya waktu yang fleksibel bagi Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan;
d.  adanya petugas yang memiliki pemahaman tentang disabilitas dan hak-hak penyandang disabilitas; dan
e.  adanya layanan perawatan bagi Penyandang Disabilitas yang sedang menjalani proses perawatan.
(3)     Penegak hukum dalam proses peradilan wajib melaksanakan penyediaan akomodasi yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 38
(1)   Penegak hukum sebelum memeriksa Penyandang Disabilitas sebagai saksi, tersangka, terdakwa atau korban wajib meminta pertimbangan atau saran dari dokter, psikolog, psikiater, atau tenaga ahli profesional untuk mengetahui kondisi kesehatan atau kejiwaan penyandang disabilitas.
(2)   Dalam hal pertimbangan atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan maka dilakukan penundaan hingga pulihnya penyandang disabilitas.


Pasal 39
Penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap Penyandang Disabilitas anak wajib mengizinkan kepada orangtua atau keluarga anak dan pendamping atau penerjemah untuk mendampingi Penyandang Disabilitas anak.
Pasal 40
Proses peradilan pidana bagi penyandang disabilitas dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 41
Penahanan terhadap Penyandang Disabilitas mental sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf c wajib ditempatkan dalam layanan rumah sakit, tempat rehabilitasi atau layanan pemulihan lain yang terdekat.

Pasal 42
Selain alat bukti yang tertera dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat bukti lainnya yang dapat digunakan dalam pembuktian di persidangan yang melibatkan Penyandang Disabilitas antara lain:
a.    melalui keterangan korban;
b.   melalui indera penciuman korban; 
c.    melalui indera pendengaran korban; dan
d.   melalui indera perabaan korban. 

Pasal 43
(1)   Rumah tahanan negara dan lembaga permasyarakatan wajib menyediakan unit layanan bagi penyandang disabilitas.
(2)   Pusat layanan bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi antara lain:
a.  menyediakan pelayanan masa adaptasi bagi tahanan penyandang disabilitas selama 6 bulan;
b.  menyediakan kebutuhan khusus termasuk obat-obatan  yang melekat pada penyandang disabilitas dalam masa tahanan dan  pembinaan; dan
c.  menyediakan layanan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas mental.

Pasal 44
a.     Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan sosialisasi perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur negara tentang perlindungan penyandang disabilitas.
b.     Informasi dan pendidikan dimaksud ayat (1) mencakup:
a.     pencegahan;
b.     mengenali tindak pidana; dan
c.      tata cara pelaporan kasus eksploitasi, kekerasan dan pelecehan.

Bagian Ketiga
Pendidikan

Pasal 45
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
(2)  Penyelenggaraan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusif dan pendidikan khusus.
(3)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengikutsertakan anak dengan disabilitas dalam program wajib belajar 12 tahun.
(4)  Pemerintah Daerah wajib mengutamakan anak dengan disabilitas bersekolah dilokasi yang dekat tempat tinggalnya.
(5)  Pemerintah Daerah memfasilitasi Penyandang Disabilitas yang tidak berpendidikan formal untuk mendapatkan ijasah pendidikan dasar dan menengah melalui program kesetaraan[MA1] 
(6)  Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib menyediakan beasiswa bagi siswa penyandang  disabilitas yang tidak mampu secara ekonomi atau berprestasi
(7)  Pemerintah dan pemerintah Daerah wajib menyediakan beasiswa bagi anak dari Penyandang Disabilitas yang tidak mampu secara ekonomi.
(8)  Lembaga penyelenggara pendidikan wajib menerima siswa atau mahasiswa Penyandang Disabilitas.


Pasal 46
(1)  Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pendidikan inklusif dan pendidikan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mempelajari keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk kemandirian dan partisipasi penuh dalam menempuh pendidikan dan pengembangan sosial
(2)  Keterampilan dasar yang dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.    Keterampilan menulis dan membaca huruf Braille;
b.   Keterampilan orientasi dan mobilitas;
c.    Keterampilan sistem dukungan dan mentoring sesama penyandang disabilitas;
d.   Keterampilan komunikasi dalam bentuk, sarana dan format yang bersifat augmentatif dan alternatif;
e.    Keterampilan Bisindo dan pemajuan identitas linguistik dari komunitas tuna rungu;

Pasal 47
Pendidikan inklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan penyelenggaraan pendidikan bagi siswa Penyandang Disabilitas untuk belajar bersama dengan siswa yang bukan Penyandang Disabilitas di sekolah regular maupun perguruan tinggi.


Pasal 48
(1)  Pemerintah daerah wajib membangun pusat layanan disabilitas di setiap kecamatan guna mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif tingkat dasar dan menengah.
(2)  Setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib membentuk Pusat layanan Disabilitas.
(3)  Pusat layanan disabilitas bagi pendidikan tingkat dasar dan menengah sebagaimana disebut pada ayat (1) berfungsi meliputi
a.    meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan disekolah regular dalam menangani anak dengan disabilitas melalui penyelenggaraan pelatihan;
b.   menyediakan pendampingan kepada siswa Penyandang Disabilitas untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran;
c.    mengembangkan program kompensatorik;
d.   menyediakan media pembelajaran dan alat bantu yang diperlukan siswa;
e.    melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi siswa dan calon siswa Penyandang Disabilitas;
f.     menyediakan data dan informasi tentang disabilitas;
g.    menyediakan layanan konsultasi;
h.   mengembangkan kerjasama dengan pihak atau lembaga lain dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan siswa .
(4)  Pusat layanan disabilitas bagi pendidikan tinggi sebagaimana disebut pada ayat (2) berfungsi meliputi
a.    mengkoordinasikan setiap unit kerja yang ada di perguruan tinggi dalam upaya pemenuhan kebutuhan khusus mahasiswa;
b.   menyediakan fasilitas dan layanan khusus yang dibutuhkann mahasiswa;
c.    mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan akomodasi yang layak ;
d.   menyediakan layanan konseling terhadap mahasiswa
e.    melakukan deteksi dini bagi mahasiswa yang terindikasi penyandang disabilitas;
f.     merujuk mahasiswa  yang terindikasi disabilitas kepada  professional terkait;
g.    memberikan sosialisasi pemahaman disabilitas dan sistem pendidikan inklusif kepada tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan mahasiswa
(5)  Anggaran pembentukan pusat layanan disabilitas di pendidikan tinggi  berasal dari APBN


Pasal 49
(1)  Lembaga penyelenggara pendidikan wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi siswa Penyandang disabilitas
(2)  Akomodasi yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi:
a.    fasilitas;
b.   proses dan metode; dan
c.    layanan administrasi.
(3)  Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a.    penyediaan fasilitas belajar yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas;
b.   penyediaan tenaga pendidik yang memiliki kemampuan menangani siswa penyandang disabilitas;
c.    pemanfaatan tekhnologi adaptif; dan
d.   penyesuaian lokasi ujian dengan kebutuhan individual penyandang disabilitas
(4)  Proses dan metode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a.      posisi duduk yang memudahkan penyandang disabilitas mengikuti proses belajar;
b.      penyediaan mentor;
c.       penyediaan asisten sebagai pencatat;
d.      penyediaan penerjemah bisindo;
e.      penyesuaian waktu istirahat sesuai dengan kebutuhan;
f.        penyediaan fasilitas termasuk alat perekam;
g.      penyesuaian bentuk, cara penyajian, dan model soal evaluasi;
h.      penyesuaian banyaknya mata ujian per hari dengan kebutuhan khusus siswa;
i.        penyesuaian cara pengerjaan evaluasi dan tugas dengan kebutuhan khusus siswa;
j.        penyesuaian waktu untuk pengerjaan evaluasi dan tugas;
k.       penyediaan asistensi dalam memilih mata kuliah; dan
l.        sistem seleksi penerimaan siswa yang aksesibel dan tidak diskriminatif.
(5)  Layanan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:
a.    penyediaan akses dalam pengisian rencana perkuliahan;
b.   penyediaan layanan dalam format yang aksesibel untuk setiap ragam disabilitas;
c.    penyediaan tenaga kependidikan yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan siswa penyandang disabilitas; dan
d.   adanya fleksibilitas masa dan batas waktu belajar baik pada pendidikan dasar/menengah maupun perguruan tinggi, yang disesuaikan dengan kondisi kebutuhan khusus siswa disabilitas.

Pasal 50
Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan wajib memasukan mata kuliah tentang pendidikan inklusif dalam kurikulum.

Pasal 51
(1)    Pendidikan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan sistem pendidikan yang hanya memberikan layanan kepada peserta didik Penyandang Disabilitas, dengan menggunakan  kurikulum khusus
(2)    Penyelenggaraan Pendidikan Khusus dilaksanakan pada Sekolah Luar Biasa.
(3)    Penyelenggaraan pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tujuan:
b.   mempersiapkan siswa penyandang disabilitas yang akan menempuh pendidikan disekolah reguler.


Pasal 52
(4)  Pendidikan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan penyelenggaraan pendidikan yang hanya memberikan layanan kepada peserta didik Penyandang Disabilitas dengan kurikulum khusus, proses pembelajaran khusus, dibimbing dan/atau diasuh oleh tenaga pendidik khusus dan dilaksanakan di tempat belajar yang khusus.
(5)  Penyelenggaraan pendidikan khusus dilaksanakan pada sekolah luar biasa.
(6)  Sekolah Luar Biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan suatu pilihan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas atau orangtuanya yang menginginkan pengembangan keterampilan peserta didik penyandang disabilitas.
(7)  Penyelenggaraan Pendidikan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
c.   memberikan layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas yang khusus memilih pengembangan keterampilan;
d.  mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti sistem pendidikan inklusif;
e.   membantu menyediakan informasi dan konsultasi tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif;
f.    membantu meningkatkan kompetensi tenaga pendidik di sekolah reguler di bidang layanan pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas; dan
g.  membantu pengembangan program khusus bagi peserta didik penyandang disabilitas  di sekolah reguler.




Pasal 53
(1)   Setiap penyelenggara pendidikan pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi peserta didik Penyandang Disabilitas.
(2)   Pemerintah wajib memfasilitasi setiap penyelenggara pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam  penyediaan akomodasi yang layak bagi peserta didik Penyandang Disabilitas.
(3)   Akomodasi yang layak bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a.  tenaga pendidik yang memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang layanan pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas;
b.  tenaga kependidikan yang mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan non akademik yang diperlukan peserta didik Penyandang Disabilitas di lingkungan satuan pendidikan;
c.  sistem penerimaan calon peserta didik Penyandang Disabilitas yang aksesibel dan non diskriminatif;
d.  kurikulum dan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kemampuan, kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik Penyandang Disabilitas;
e.  strategi, model, dan metode pembelajaran yang disesuaikan dengan kemampuan, kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik Penyandang Disabilitas;
f.   media dan teknologi pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan, kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik Penyandang Disabilitas;
g.  sistem penilaian pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan, kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik Penyandang Disabilitas;
h. sarana dan prasarana pendidikan yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas;
i.   lingkungan fisik, psikologis, dan sosial yang ramah terhadap Penyandang Disabilitas;
j.   layanan sistem administrasi yang aksesibel dan non diskriminatif bagi Penyandang Disabilitas;
k.  pengembangan program khusus bagi penyandang disabilitas; dan
l.   layanan individual lainnya sebagai pendukung program akademik.

Pasal 54
Pemenuhan Tenaga pendidik yang memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang layanan pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (3) huruf a dapat dilakukan melalui:
a.     diskusi, seminar, simposium, lokakarya dan sejenisnya tentang layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas untuk pendidik satuan pendidikan reguler;
b.     pelatihan yang dilakukan khusus untuk meningkatkan kemampuan tentang layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas untuk pendidik satuan pendidikan reguler;
c.      program sertifikasi pendidikan khusus untuk pendidik satuan pendidikan reguler;
d.     pemberian bantuan beasiswa pada bidang pendidikan khusus untuk pendidik satuan pendidikan reguler;
e.      tugas belajar pada program pendidikan khususuntuk pendidik satuan pendidikan reguler; dan
f.       pengangkatan tenaga pendidik yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan khusus.

Pasal 55
Program khusus bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (3) huruf k meliputi:
a.    pemanfaatan dan pengembangan simbol braille;
b.   pengembangan kemampuan orientasi dan mobilitas tunanetra;
c.    pengembangan kemampuan komunikasi, persepsi bunyi dan irama bagi tunarungu;
d.   pemanfaatan dan pengembangan berbagai system bahasa isyarat;
e.    pengembangan kemampuan bina kemandirian;
f.     pengembangan kemampuan bina gerak;
g.    pengembangan kemampuan bina sosialitas;
h.   pengembangan kemampuan pemusatan konsentrasi; dan
i.     pengembangan program khusus lainnya bagi peserta didik Penyandang Disabilitas majemuk.

Pasal 56
(1)   Setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib membentuk Pusat Layanan Disabilitas.
(2)   Pemerintah wajib membentuk sekurang-kurangnya sebuah Pusat Layanan Disabilitasdi setiap kecamatan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif bagi penyelenggara pendidikan jenjang usia dini, dasar dan menengah.
(3)   Kegiatan Pusat Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) meliputi:
a.  peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam bidang layanan pendidikan yang berkualitas bagi Penyandang Disabilitas;
b.  pendampingan peserta didik Penyandang Disabilitas untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran dan upaya pemenuhan dan pemajuan hak pendidikan Penyandang Disabilitas;
c.  pengembangan program kompensatorik;
d.  penyediaan media pendidikan dan alat bantu khusus lainnya yang diperlukan peserta didik Penyandang Disabilitas;
e.  pelaksanaan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik dan calon peserta didik Penyandang Disabilitas, baik secara mandiri atau bekerjasama dengan pihak lain;
f.   pusat data, konsultasi,  dan informasi disabilitas; dan
g.  pengembangan jejaring kerja dengan pihak atau lembaga lain dalam upaya pemenuhan dan pemajuan hak pendidikan bagi Penyandang Disabilitas.

Pasal 57
Pemerintah wajib menjamin penyelenggaraan layanan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas terutama Penyandang Disabilitas majemuk yang disampaikan dalam bahasa, bentuk dan sarana komunikasi yang sesuai bagi individu dan di dalam lingkungan yang memaksimalkan pengembangan akademis dan sosialnya.

Pasal 58
Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan wajib memasukkan mata kuliah tentang pendidikan inklusif dalam kurikulum.

Bagian Keempat
Pekerjaan

Pasal 59
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karir yang adil dan non diskriminasi bagi Penyandang Disabilitas.


Pasal 60
(1)  Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk mengikuti latihan ketrampilan kerja dibalai latihan kerja atau layanan sejenis
(2)  Balai latihan kerja yang dimaksud pada ayat (1) harus bersifat inklusif dan aksesibel


Pasal 61
Pemberi kerja dalam proses rekrutmen tenaga kerja Penyandang Disabilitas wajib:
a.    menghilangkan syarat sehat jasmani dan rohani;
b.   menghilangkan tes psikologi;
c.    memperhatikan komptensi dan keahlian;
d.   menghilangkan jenis tes yang tidak sesuai dengan Penyandang Disabilitas;
e.    menyediakan asistensi dalam proses pengisian formulir aplikasi, dan proses lainnya yang diperlukan;
f.     menyediakan alat dan bentuk tes yang sesuai dengan kondisi disabilitas; dan
g.    memberikan keleluasaan dalam waktu pengerjaan tes.

Pasal 62
Pemberi kerja dalam proses penerimaan dan penempatan tenaga kerja Penyandang Disabilitas wajib:
a.    memberikan kesempatan untuk masa orientasi atau adaptasi diawal masa kerja untuk menentukan apa yang diperlukan, termasuk penyelenggaraan pelatihan atau magang;
b.   menyediakan tempat bekerja yang fleksibel dengan menyesuaikan kepada jenis disabilitas tanpa mengurangi target tugas kerja;
c.    menyediakan waktu istirahat sesuai dengan kebutuhan;
d.   menyediakan jadwal kerja yang fleksibel dengan tetap memenuhi alokasi waktu kerja;
e.    memberikan asistensi dalam pelaksanaan pekerjaan dengan memperhatikan kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas; dan
f.     memberikan izin atau cuti khusus untuk pengobatan.

Pasal 63
Pemberi kerja wajib memberi upah kepada tenaga kerja Penyandang Disabilitas yang sama dengan tenaga kerja yang bukan Penyandang Disabilitas dalam jenis pekerjaan yang sama.

Pasal 64
(1)  Pemberi  kerja wajib menyediakan akomodasi yang layak dan aksesibel bagi tenaga kerja Penyandang Disabilitas.
(2)  Pemberi kerja wajib melindungi penyandang disabilitas dari kecelakaan kerja.
(3)  Pemberi kerja wajib melindungi penyandang disabilitas dari tindakan kriminal antara lain kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologis, penindasan, atau pelecehan.
(4)  Pemberi kerja wajib membuka mekanisme pengaduan atas tidak terpenuhi hak penyandang disabilitas.
(5)  Pemberi kerja wajib memberikan ganti rugi yang diajukan penyandang disabilitas atas tidak terpenuhinya haknya.
(6)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mensosialisasikan penyediaan akomodasi yang layak dan fasilitas yang aksesibel bagi tenaga kerja Penyandang Disabilitas.

Pasal 65
Pemberi kerja wajib menjamin agar Penyandang Disabilitas dapat melaksanakan hak berserikat dalam lingkungan pekerjaan.

Pasal 66
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin akses yang setara bagi Penyandang Disabilitas terhadap manfaat dan program pensiun.

Pasal 67
(1)   Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya 2% (dua persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
(2)   Kewajiban mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk pemberi kerja yang memiliki paling sedikit 50 (lima puluh) orang pegawai atau pekerja.
(3)   Pemerintah dam Pemerintah daerah wajib mengawasi pelaksanaan dan mensosialisasikan ketentuan mempekerjakan sekurang-kurangnya 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Pasal 68
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan pengurangan pajak kepada pemberi kerja swasta yang mempekerjakan Penyandang Disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 69
(1)  Pemerintah Daerah melalui dinas tenaga kerja wajib memiliki unit layanan disabilitas.
(2)  Tugas unit layanan disabilitas adalah:
a.  merencanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pekerjaan Penyandang Disabilitas;
b. memberikan informasi kepada lembaga pemerintah dan swasta, tentang proses pelatihan, perekrutan, penerimaan dan penempatan kerja Penyandang Disabilitas;
c.  menyediakan pendampingan kepada tenaga kerja Penyandang Disabilitas;
d. menyediakan pendampingan kepada pemberi kerja pemerintah atau swasta yang menerima tenaga kerja Penyandang Disabilitas; dan
e.  mengkoordinasikan pusat layanan disabilitas, pemberi kerja, dan tenaga kerja dalam pemenuhan dan penyediaan alat bantu kerja bagi Penyandang Disabilitas.
(3)  Anggaran pembentukan unit layanan disabilitas berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(4)  Pegawai unit layanan disabilitas berasal dari dinas tenaga kerja.

Bagian Kelima
Kesehatan

Pasal 70
(1)     Pemerintah, Pemerintah Daerah dan swasta wajib memastikan layanan kesehatan menerima pasien Penyandang Disabilitas.
(2)     Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan kesehatan dengan standar kesehatan tertinggi kepada Penyandang Disabilitas tanpa diskriminasi.
(3)     Standar kesehatan tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a.  jasa tenaga medis dan paramedis;
b.     obat-obatan;
c.     alat bantu medis;
d.     rehabilitasi medis; dan
e.     peralatan kesehatan lainnya yang dibutuhkan.

Pasal 71
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan kesehatan melekat bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Layanan kesehatan melekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi untuk melakukan penanganan terhadap Penyandang Disabilitas.
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi khusus dari tingkat pusat sampai ke tingkat puskesmas.
(4)   Dalam hal  tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi khusus untuk melakukan penanganan terhadap Penyandang Disabilitas belum tersedia di puskesmas, tenaga kesehatan yang ada di puskesmas wajib memberikan pelayanan melekat dengan berkonsultasi kepada tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi khusus pada layanan kesehatan yang lebih tinggi.
(4)   Konsultasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi khusus bagi Penyandang Disabilitas dapat dilakukan melalui media elektronik.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme konsultasi  tenaga kesehatan kepada tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi khusus bagi  Penyandang Disabilitas diatur dalam peraturan menteri yang membidangi urusan pemerintah di bidang kesehatan.

Pasal 72
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan obat kesehatan yang melekat pada ragam Penyandang Disabilitas.
(2)   Penyediaan obat kesehatan yang melekat pada ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai tingkat puskesmas di seluruh wilayah Indonesia.
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan alat bantu kesehatan yang melekat pada ragam Penyandang Disabilitas.

Pasal 73
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan pelayanan kesehatan khusus yang dibutuhkan oleh Penyandang Disabilitas.
(2)   Pelayanan kesehatan khusus yang dibutuhkan oleh Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk deteksi dini, identifikasi dini, intervensi yang sesuai, dan pelayanan yang dirancang untuk meminimalkan dan mencegah disabilitas lebih lanjut.

Pasal 74
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan obat-obatan kesehatan yang melekat pada disabilitas dengan efek samping terendah yang sesuai kebutuhan Penyandang Disabilitas.
(2)   Penyediaan obat-obatan yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai tingkat Puskesmas di seluruh wilayah Indonesia.

Pasal 75
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan rehabilitasi medis sesuai kebutuhan Penyandang Disabilitas.

Pasal 76
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas yang terintegrasi sampai dengan tingkat puskesmas atau yang dipersamakan.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melatih tenaga medis dan para medis di wilayahnya agar mampu memberikan pelayanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas.
Pasal 77
(1)   Tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medis, pengobatan dan pemasangan alat kontrasepsi bagi Penyandang Disabilitas wajib mendapatkan persetujuan langsung atau tertulis dari Penyandang Disabilitas.
(2)   Persetujuan langsung atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan penjelasan mengenai tindakan medis dan pengobatan yang akan dilakukan.
(3)   Tenaga Kesehatan dalam melakukan tindakan medis dan pengobatan wajib mematuhi standar etika.

Pasal 78
(1)  Rumah sakit jiwa maupun bangsal psikiatri di rumah sakit umum wajib menyediakan fasilitas rawat inap  yang layak dengan tindakan pelayanan yang manusiawi dan menghargai martabat pasien.
(2)  Fasilitas rawat inap yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain:
a.      menyediakan kamar rawat inap yang bersih dan tidak menempatkan pasien dalam jumlah terlalu banyak dalam satu ruangan; dan
b.      menyediakan pekarangan dan atau tempat beraktifitas diluar kamar pasien.
(3)  Tindak pelayanan yang manusiawi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk diantaranya:
a.    tidak mengurung/mengunci pasien didalam kamar rawat inap;
b.   memberi kesempatan maksimal kepada pasien untuk beraktifitas di luar ruangan;
c.       tidak mengurung pasien dalam ruang isolasi dalam jangka waktu lama.
d.      apabila diperlukan tindak pengekangan terhadap pasien, maka tindakan tersebut harus berdasarkan penilaian dan prosedur yang jelas dan dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin dan dievaluasi secara berkala.
e.      pengurungan pasien didalam ruangan isolasi harus melalui prosedur medis yang jelas dan dalam waktu sesingkat mungkin serta dievaluasi secara berkala.
f.        segala tindakan terhadap pasien harus dilakukan dengan cara-cara yang mengormati harkat dan martabat pasien.

Pasal 79
(1)  Penyelenggaran pelayanan kesehatan wajib menyediakan layanan informasi tentang disabilitas.
(2)  Layanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memberikan informasi mengenai rujukan rehabilitasi lanjutan yang tersedia bagi Penyandang Disabilitas.


Bagian Keenam
Politik

Pasal 80
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin agar Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik secara langsung atau melalui perwakilan.
(2)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih.

Pasal 81
Penyandang Disabilitas berhak untuk dipilih sebagai pejabat publik.

Pasal 82
Dalam Pemilihan Umum, Pemerintah wajib menjamin hak politik Penyandang Disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas, termasuk dalam:
a.    berpartisipasi langsung untuk ikut dalam kegiatan Pemilu;
b.   mendapatkan hak untuk didata sebagai pemilih Pemilu;
c.    memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses serta mudah dipahami dan digunakan;
d.   melindungi hak Penyandang Disabilitas untuk memilih secara rahasia tanpa intimidasi;
e.    melindungi hak Penyandang Disabilitas untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, untuk memegang jabatan serta melaksanakan seluruh fungsi publik dalam semua tingkat pemerintahan;
f.     menjamin Penyandang Disabilitas dapat memanfaatkan penggunaan teknologi baru yang dapat membantu pelaksanaan tugas;
g.    menjamin kebebasan Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan pendampingan sesuai dengan pilihannya sendiri;
h.   mendapatkan informasi dan sosialisasi dalam setiap tahapan Pemilu;
i.     mendapatkan simulasi dan terlibat dalam setiap tahapan Pemilu; dan
j.     menjamin terpenuhinya hak untuk terlibat sebagai penyelenggara Pemilu.

Bagian Ketujuh
Keagamaan

 

Pasal 83
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melindungi Penyandang Disabilitas dari tekanan pihak manapun untuk menganut dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing–masing.

Pasal 84
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengembangan, bimbingan dan penyuluhan agama terhadap  penyandang disabilitas  dan kelompok agama.

Pasal 85
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan upaya untuk menghapuskan stigma negatif terhadap Penyandang Disabilitas.
(2)  Upaya menghapus stigma negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah antara lain melalui:
a.    pembinaan terhadap penceramah, pendakwah, pemuka agama untuk mengangkat harkat dan martabat Penyandang Disabilitas;
b.   penyediaan media informasi keagamaan; dan
c.    memfasilitasi forum-forum ibadah yang sensitif Penyandang Disabilitas.

Pasal 86
(1)  Pemerintah wajib menjamin hak penyandang disabilitas untuk menjalankan kewajiban ibadah tanpa diskriminasi.
(2)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan sarana dan prasarana yang aksesibel bagi penyandang disabilitas yang menjalankan kewajiban ibadah.
(3)  Pemerintah wajib menyediakan quota pemberangkatan Haji bagi penyandang disabilitas.
(4)  Quota sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) diberikan paling sedikit 1:1000 (satu banding seribu) pada setiap tahun pemberangkatan.

Pasal 87
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan kitab suci dan buku agama yang dibuat dengan format yang aksesibel berdasarkan kebutuhan penyandang disabilitas.
Pasal 88
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengupayakan ketersediaan penerjemah Bisindo dalam kegiatan peribadatan.

Bagian Kedelapan
Keolahragaan

Pasal 89
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem keolahragaan bagi Penyandang Disabilitas yang meliputi:
a. keolahragaan pendidikan;
b. keolahragaan rekreasi; dan
c.  keolahragaan prestasi.
Pasal 90
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem keolahragaan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas yang dilaksanakan untuk membangun kepercayaan diri dan kesimbangan fisik sejak dini dan memberikan pengetahuan ketrampilan berbagai jenis olahraga, serta menyediakan dan/atau membangun fasilitas olahraga yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.


Pasal 91
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan keolahragaan rekreasi bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas keolahragaan rekreasi bagi Penyandang Disabilitas yang bertujuan:
a.    membangun kesehatan fisik;
b.   membangun hubungan sosial kemasyarakatan; dan
c.    melestarikan dan meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional.


Pasal 92
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan keolahragaan prestasi bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas keolahragaan prestasi yang bertujuan untuk meningkatkan keikutsertaan diberbagai kompetisi dan  prestasi dibidang olahraga baik ditingkat nasional maupun international.

Pasal 93
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membangun sistem pembinaan olahraga prestasi yang profesional bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Dalam membangun sistem pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.  pelatih yang profesional; dan
b. penyelenggaraan kompetisi secara teratur di berbagai tingkatan secara berkala.
(3)   Dalam membangun sistem pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) Pemerintah wajib melibatkan:
a)  organisasi keolahragaan disabilitas dari berbagai keragaman disabilitas;
b)  akademisi bidang keolahragaan untuk mengembangkan metode dan teknik olahraga bagi penyandang disabilitas termasuk cara melatih dan bermain yang sesuai dengan keragaman disabilitas; dan
c)  sektor usaha untuk pendanaan.
(4)   Pemerintah menetapkan standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi penyelenggaraan pelatihan dan kompetisi olahraga.

Pasal 94
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan penghargaan yang sama antara olahragawan Penyandang Disabilitas dan olahragawan yang bukan Penyandang Disabilitas.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam memberikan penghargaan prestasi olahraga kepada olahragawan Penyandang Disabilitas dapat berupa beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, jaminan hari tua, dan/atau bentuk penghargaan lain.

Pasal 95
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan keolahragaan rekreasi bagi Penyandang Disabilitas.
(4)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas keolahragaan rekreasi yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas yang bertujuan:
d.   membangun kesehatan fisik;
e.    membangun hubungan sosial kemasyarakatan; dan
f.     melestarikan dan meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional.

Bagian Kesembilan
Pariwisata dan Hiburan

Pasal 96
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan layanan pariwisata dan hiburan.
(2)   Layanan pariwisata yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.  tersedianya informasi pariwisata dalam bentuk audio, visual, dan taktual; dan
b.  tersedianya pemandu wisata yang memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan obyek wisata bagi wisatawan disabilitas netra, memandu wisatawan disabilitas rungu dengan bahasa isyarat, dan memiliki keterampilan memberikan bantuan mobilitas.

Pasal 97
Hiburan yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas meliputi antara lain:
a.      tersedianya pemandu narasi dan pemandu bahasa isyarat; dan
b.     tersedianya narasi tambahan pada hiburan dalam bentuk audio visual.

Pasal 98
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan insentif kepada penyelenggara perjalanan pariwisata yang menyelenggarakan paket perjalanan pariwisata yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Insentif yang diberikan Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada penyelenggara pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa keringanan pajak.
Bagian Kesepuluh
Kesejahteraan Sosial

Pasal 99
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap pelayanan air bersih.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib untuk menjamin akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak.
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap program perlindungan sosial dan program pengentasan kemiskinan.
(4)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses terhadap pelayanan, alat bantu, dan bantuan lain terkait disabilitas yang layak dan terjangkau

Pasal 100
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi Penyandang Disabilitas dan keluarganya yang hidup dalam kemiskinan untuk mendapatkan bantuan khusus yang ditimbulkan akibat kondisi disabilitas yang dialami.
(2)   Bantuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pelatihan, konseling, perawatan sementara, atau bantuan lain yang berkaitan.
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membiayai penuh pelaksanaan bantuan khusus.
(4)   Dalam pelaksanaan pelatihan dan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat melibatkan masyarakat dan tenaga profesional.

Pasal 101
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan jaminan sosial bagi penyandang disabilitas miskin atau Penyandang Disabilitas yang tidak memiliki penghasilan.
(2)   Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai yang besarannya ditentukan oleh kementerian yang membidangi urusan sosial.
(3)   Pemerintah wajib memberikan prioritas kepada Penyandang Disabilitas dalam program bantuan sosial.
(4)   Bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa beras miskin, sembako, program bedah rumah, program bantuan langsung tunai atau bentuk lainnya.
(5)   Pemerintah dan pemerintah Daerah wajib menyediakan tempat tinggal bagi Penyandang Disabilitas terlantar dalam bentuk layanan rehabilitasi residensial.


Pasal 102
(1)   Pemerintah Daerah wajib membentuk pusat pelayanan Penyandang Disabilitas untuk menyediakan fasilitas yang meliputi:
a.  alat bantu kemandirian sesuai dengan kebutuhan Penyandang Disabilitas;
b.  informasi dan rujukan yang berkaitan dengan pelayanan Penyandang Disabilitas; dan
c.  penerjemah bahasa isyarat dan pendamping untuk kebutuhan Penyandang Disabilitas.
(2)   Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tentang fasilitas layanan yang tersedia di wilayahnya, yang meliputi:
a.  pekerjaan;
b.  tempat rehabilitasi;
c.  pendidikan;
d.  kesehatan;
e.  organisasi Penyandang Disabilitas;
f.   bantuan hukum;
g.  olahraga;
h. pariwisata; dan
i.   bidang lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan Penyandang Disabilitas.

Bagian Kesebelas
Infrastruktur

Pasal 103
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin infrastruktur yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Infrastruktur yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a.  bangunan gedung;
b.  jalan;
c.  pemukiman; dan
d.  pertamanan dan pemakaman.

Paragraf 1

Bangunan Gedung


Pasal 104
(1)   Bangunan gedung yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat (2) huruf a memiliki fungsi antara lain:
a.     hunian;
b.     keagamaan;
c.      usaha;
d.     sosial, budaya, dan olahraga; dan
e.      khusus.
(2)   Bangunan gedung hunian yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara lain:
a.  rumah tinggal tunggal;
b.  rumah tinggal deret;
c.  rumah tinggal susun; dan
d.  rumah tinggal sementara.
(3)   Bangunan gedung keagamaan yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain:
a.  masjid termasuk mushola;
b.  gereja termasuk kapel;
c.  pura;
d.  vihara;
e.  klenteng; dan
f.   bangunan lain yang digunakan untuk ibadah.
(4)   Bangunan gedung usaha yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c antara lain:
a.     bangunan gedung perkantoran;
b.     bangunan gedung perdagangan;
c.      bangunan gedung perindustrian;
d.     bangunan gedung perhotelan;
e.      bangunan gedung wisata dan hiburan;
f.       bangunan gedung terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan; dan
g.     bangunan gedung tempat penyimpanan.
(5)   Bangunan gedung sosial, budaya, dan olahraga yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d antara lain:
a.  pelayanan pendidikan;
b.  pelayanan kesehatan;
c.  kebudayaan;
d.  laboratorium;
e.  rumah aman;
f.   tempat pengungsian;
g.  pelayanan umum; dan
h. olah raga.
(6)   Bangunan gedung khusus yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e antara lain:
a.  bangunan gedung untuk reaktor nuklir; dan
b.  instalasi pertahanan dan keamanan.

Pasal 105
(1)     Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mencantumkan ketersediaan fasilitas aksesibilitas Penyandang Disabilitas sebagai salah satu syarat dalam permohonan Izin Mendirikan Bangunan.
(2)     Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan audit terhadap ketersediaan fasilitas aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas pada setiap bangunan gedung.
(3)     Audit terhadap ketersediaan fasilitas aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas merupakan syarat dalam permohonan dan perpanjangan izin penggunaan bangunan.
(4)     Dalam hal bangunan gedung sudah memenuhi syarat audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Pemerintah wajib menerbitkan sertifikat aksesibilitas.
(5)     Pemerintah wajib menyusun mekanisme audit fasilitas aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas.
(6)     Audit fasilitas aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib bekerja sama dengan organisasi Penyandang Disabilitas yang memiliki keahlian di bidang aksesibilitas bangunan gedung.

Pasal 106
(1)   Setiap pengelola bangunan gedung yang bertingkat wajib menyediakan lift yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Lift yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  disediakan dari lantai terendah sampai lantai tertinggi bangunan gedung;
b.  mampu memuat kursi roda;
c.  dilengkapi dengan informasi audio dan visual sebagai petunjuk posisi lift;
d.  dilengkapi dengan tanda braille pada tombol lift;
e.  letak tombol dapat dijangkau oleh pengguna kursi roda;
f.   dilengkapi dengan pegangan rambat yang berada di dua sisi; dan
g.  dilengkapi dengan jalur pemandu dan ubin peringatan di depan lift.

Pasal 107
(1)   Pengelola bangunan gedung wajib menyediakan tangga yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Tangga yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
a.     pegangan rambat yang ukurannya lebih panjang dari tangga;
b.     pagar pengaman yang ukurannya lebih panjang dari tangga; dan
c.      warna dan permukaan yang berbeda pada ujung tangga.

Pasal 108
(1)   Setiap pengelola bangunan gedung wajib menyediakan parkir khusus bagi kendaraan yang digunakan oleh Penyandang Disabilitas.
(2)   Parkir khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dekat dengan pintu lobi.
(3)   Parkir khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dipergunakan oleh kendaraan roda empat, kendaraan roda dua, dan kendaraan yang digunakan oleh Penyandang Disabilitas.

Pasal 109
(1)   Pengelola bangunan gedung wajib memperbolehkan kendaraan yang membawa penumpang Penyandang Disabilitas untuk menurunkan penumpangnya di pintu lobi utama.
(2)   Kendaraan yang dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan roda empat, kendaraan roda dua, dan kendaraan yang digunakan oleh Penyandang Disabilitas.

Pasal 110
(1)   Pengelola gedung wajib menyediakan jalur pemandu dan ubin peringatan.
(2)   Pengelola bangunan gedung wajib menyediakan akses masuk yang cukup untuk dilewati kursi roda.

Pasal 111
(1)   Pengelola gedung wajib menyediakan bidang miring untuk menjangkau permukaan lantai yang lebih tinggi.
(2)   Bidang miring yang dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.  dibuat dengan derajat kemiringan 1:8 (satu banding delapan) atau 1:12 (satu banding dua belas);
b.  permukaan bidang miring tidak licin;
c.  setiap panjang 6 (enam) meter pada bidang miring disediakan bordes yang digunakan untuk pemberhentian sementara;
d.  dilengkapi dengan pegangan rambat; dan
e.  lebar minimum 120 (seratus dua puluh) sentimeter.

Pasal 112
(1)   Pengelola bangunan gedung wajib menyediakan tanda bahaya dalam bentuk isyarat lampu yang dilengkapi isyarat bunyi.
(2)   Pengelola bangunan gedung wajib menyediakan jalur evakuasi yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(3)   Pengelola bangunan gedung wajib menyediakan simbol taktual di pintu untuk menandakan toilet laki-laki atau perempuan.
(4)   Penempatan simbol taktual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diletakan maksimal 150 (seratus lima puluh) sentimeter dari permukaan tanah.
(5)   Pengelola bangunan gedung dapat menyediakan tombol informasi.
(6)   Pengelola bangunan gedung wajib menyediakan peta taktual lokasi bangunan gedungnya.

Pasal 113
(1)   Pengelola bangunan gedung wajib menyediakan toilet yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Toilet yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas harus memenuhi syarat:
a.     mempunyai ruang gerak yang cukup bagi pengguna kursi roda;
b.     menggunakan pintu geser;
c.      dilengkapi kloset duduk;
d.     dilengkapi dengan tempat cuci tangan yang rendah; dan
e.      dilengkapi dengan pegangan rambat dekat dengan kloset.

Pasal 114
(1)   Pengelola bangunan gedung stasiun, terminal bus, dan halte bus wajib menyediakan peta jalur kereta atau bus.
(2)   Pengelola bangunan gedung stasiun wajib membuat peron sejajar dengan lantai kereta api.
(3)   Dalam hal peron dan lantai kereta api tidak sejajar, pengelola bangunan gedung stasiun wajib menyediakan bidang miring.
(4)   Bidang miring yang dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat permanen atau yang dapat dipindahkan.

Pasal 115
(1)   Setiap pengelola hotel wajib menyediakan kamar yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Kamar hotel yang dimaksud dalam ayat (1) antara lain:
a.  ditempatkan di lantai dasar atau terdekat dengan lift;
b.  letak peralatan mandi dapat dijangkau oleh pengguna kursi roda;
c.  perbedaan tinggi permukaan lantai maksimal 2 (dua) sentimeter; dan
d.  bel pintu kamar dilengkapi dengan tanda isyarat lampu.

Pasal 116
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi aksesibilitas di bangunan rumah tinggal tunggal wajib jika dihuni oleh Penyandang Disabilitas.
(2)   Pemerintah wajib memberikan subsidi untuk penyediaan fasilitas aksesibilitas di bangunan rumah tinggal tunggal.

 

Paragraf 2

Jalan



Pasal 117
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan jalur pejalan kaki yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Jalur pejalan kaki yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a.  dilengkapi dengan jalur pemandu dan ubin peringatan yang diletakan ditengah jalur pejalan kaki;
b.  tidak ada penghalang ditengah jalur pejalan kaki yang menghambat mobilitas Penyandang Disabilitas;
c.  permukaan harus stabil, kuat, tahan cuaca, dan bertekstur halus tetapi tidak licin;
d.  setiap potongan jalur pejalan kaki menggunakan bidang miring yang landai;
e.  dilengkapi drainase yang  aman;
f.   dilengkapi tepi pengaman pada jalur pejalan kaki; dan
g.  dilengkapi pengaman terhadap lubang besar, selokan, atau tepian lantai yang mencorok.

Pasal 118
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan tempat penyeberangan yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas untuk menyeberang jalan.
(2)   Tempat penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.  tidak diletakan di tikungan jalan;
b.  dilengkapi dengan tanda isyarat lampu dan isyarat bunyi;
c.  tidak melintasi pembatas jalan dengan tinggi permukaan yang berbeda; dan
d.  apabila ada perbedaan tinggi permukaan harus dibuat dalam bidang miring yang landai.

 

Paragraf 3

Pertamanan dan Pemakaman


Pasal 119
(1)   Pemerintah menyediakan fasilitas umum lingkungan dan taman yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Taman yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan fasilitas jalur pejalan kaki dan kursi roda.

 

Paragraf 4

Permukiman


Pasal 120
(1)   Permukiman yang dimaksud dalam bagian ini meliputi wilayah hunian, termasuk fasilitas umum yang ada di dalamnya.
(2)   Permukiman tidak termasuk bangunan gedung.

Pasal 121
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memastikan seluruh permukiman yang dibangun oleh pengembang memiliki aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Pengembang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pihak swasta dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
(3)   Pemukiman yang aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merujuk kepada pengaturan dalam undang-undang ini.

Bagian Kedua Belas
Pelayanan Publik

Pasal 122
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan pelayanan publik yang aksesibel bagi bahwa Penyandang Disabilitas.
(2)   Pelayanan publik yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau swasta.
(3)   Penyediaan pelayanan publik yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan atas dasar kesetaraan dalam keberagaman bagi Penyandang Disabilitas dan tanggap terhadap kebutuhan Penyandang Disabilitas.
Pasal 123
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan dan mensosialisasikan pelayanan publik yang aksesibel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) kepada Penyandang Disabilitas dan masyarakat.
(2)   Penyelenggara pelayanan publik wajib mengadakan panduan pelayanan publik yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(3)   Panduan pelayanan publik yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disosialisasikan kepada petugas penyelenggara pelayanan publik.

Pasal 124
Penyelenggara pelayanan publik dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas wajib menyediakan antara lain:
a.     pendampingan, fasilitasi, dan asistensi;
b.     peminjaman kursi roda;
c.     penyediaan loket khusus bagi penyandang disabilitas yang aksesibel;
d.     mendahulukan penyandang disabilitas dari pengguna layanan lainnya; dan
e.     menempatkan pelayanan publik di lantai dasar atau di tempat lain yang aksesibel.
Pasal 125
Loket yang aksesibel sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 124 huruf c antara lain:
a.     tanpa menggunakan penyekat antara penyedia layanan dan Penyandang Disabilitas yang mengakses layanan;
b.     menggunakan meja layanan dengan tinggi maksimal 80 (delapan puluh) sentimeter;
c.     menyediakan kursi; dan
d.     informasi pemanggilan antrian disampaikan dalam bentuk audio dan tulisan.
Pasal 126
(1)   Penyelenggara pelayanan publik yang memanfaatkan teknologi, wajib menyediakan teknologi yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Teknologi yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan fasilitas:
a.  audio;
b.  tanda taktual;
c.  huruf braille; dan
d.  visual.

Bagian Ketiga Belas
Kebencanaan

Pasal 127
(1)     Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah yang diperlukan untuk menjamin penanganan Penyandang Disabilitas dalam situasi pra bencana, ada potensi bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana.
(2)     Penanganan Penyandang Disabilitas yang dimaksud dalam ayat (1) antara lain:
a.  layanan pendidikan;
b.  layanan kesehatan;
c.  penyediaan data dan informasi;
d.  layanan kelengkapan administrasi kependudukan sebagai bagian dari hak sipil;
e.  kemudahan akses dalam membangun kemandirian;
f.   habilitasi, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan
g.  dukungan terhadap pertumbuhan dan pengembangan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosial, terutama bagi Penyandang Disabilitas anak.
(3)     Setiap Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi aktif dalam penanggulangan bencana.
(4)     Partisipasi aktif penyandang disabilitas seperti yang dimaksud dalam ayat (3) sesuai dengan ragam disabilitas, pendidikan, dan kemampuannya.

Pasal 128
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan prioritas dalam hal penyelamatan, evakuasi, pengamanan, layanan kesehatan dan psikologis, layanan pendidikan serta dalam upaya-upaya pengurangan risiko bencana bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan penanganan khusus kepada Penyandang disabilitas yang termasuk dalam kelompok rentan antara lain:
a.     bayi, balita, dan anak-anak;
b.     ibu hamil atau menyusui;
c.      orang lanjut usia; dan
d.     Penyandang Disabilitas yang mengungsi akibat konflik sosial.

Pasal 129
(1)     Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan kemudahan akses untuk mendukung kemandirian dan partisipasi aktif Penyandang Disabilitas.
(2)     Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi prioritas dalam penyediaan layanan dan fasilitas yang diberikan pada tahap pra-bencana, saat bencana dan pasca bencana.
(3)     Standar kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan pengaturan dalam undang-undang ini.

Paragraf 1
Pra Bencana

Pasal 130
(1)     Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan penyedia layanan terkait wajib mengidentifikasi, mengumpulkan, menganalisis, mendokumentasikan dan menyebarluaskan data dan informasi terkait Penyandang Disabilitas.
(2)     Pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan organisasi Penyandang Disabilitas, dan masyarakat.
(3)     Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terpilah berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur dan ragam disabilitas.
(4)     Pemerintah Daerah wajib melakukan verifikasi dan pengesahan terhadap data dan informasi yang didapatkan.
(5)     Pemerintah Daerah wajib mengkoordinasikan pengumpulan dan pemutakhiran data dan informasi Penyandang Disabilitas yang berkaitan dengan kebencanaan.

Pasal 131
(1)     Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi Penyandang Disabilitas dalam penilaian dan pengkajian risiko di wilayah setempat.
(2)     Pemerintah Daerah wajib memberikan data dan informasi yang jelas dan mudah dipahami terkait ancaman, risiko bencana, cara penanggulangan bencana, serta cara penyelamatan diri.

Pasal 132
(1)     Badan Penanggulangan Bencana Daerah mendorong layanan pendidikan dan peningkatan kesadaran bencana, baik formal maupun informal, bagi Penyandang Disabilitas.
(2)     Layanan pendidikan kebencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa latihan kesiapsiagaan bencana yang meliputi pelatihan, simulasi, dan geladi bencana.
(3)     Penyediaan layanan pendidikan kebencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui koordinasi dengan instansi dan pemangku kepentingan terkait.

Pasal 133
(1)     Pemerintah Daerah wajib memastikan Penyandang Disabilitas mendapat akses terhadap layanan peringatan dini yang tepat waktu, akurat dan mudah dimengerti.
(2)     Akses yang dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ragam disabilitas seseorang.
(3)     Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi Penyandang Disabilitas untuk memiliki rencana kesiapsiagaan sendiri di tingkat rumah tangga.
(4)     Penyusunan rencana kontinjensi dan rencana evakuasi oleh Pemerintah Daerah dapat melibatkan Penyandang Disabilitas dan kelompok yang mendampinginya.
(5)     Pemerintah Daerah wajib memberikan pelatihan tentang sistem peringatan dini, rencana kontinjensi, dan rencana evakuasi kepada Penyandang Disabilitas dan masyarakat lainnya.

Paragraf 2
Tanggap Darurat

Pasal 134
(1)     Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan dasar pangan dan non-pangan, sandang, penampungan/hunian sementara, air bersih dan sanitasi serta layanan kesehatan dan kebutuhan khusus bagi Penyandang Disabilitas.
(2)     Pemenuhan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan minimum.

Pasal 135
(1)     Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib memberikan Penyandang Disabilitas penampungan dan hunian sementara sesuai standar pelayanan minimum.
(2)     Penampungan atau hunian yang dimaksud pada ayat (1) harus yang memungkinkan bagi penyandang disabilitas untuk melakukan kegiatan rumah tangga utama dan kegiatan terkait mata pencarian.
(3)     Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib memberikan Penyandang Disabilitas terdampak bencana pakaian, selimut, dan peralatan tidur untuk menjamin kenyamanan pribadi, serta terjaganya martabat, kesehatan, dan kesejahteraan.

Pasal 136
(1)     Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan penyedia layanan terkait memberi akses dan bantuan pangan secara tepat waktu dan layak untuk meminimalkan risiko dan meningkatkan status gizi, kesehatan dan kemampuan bertahan hidup bagi Penyandang Disabilitas.
(2)     Penyandang Disabilitas terdampak bencana diberi akses terhadap peralatan memasak, makan-minum dan menyimpan makanan, yang sesuai dengan budaya setempat.

Pasal 137
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan pasokan air bersih dan sanitasi bagi Penyandang Disabilitas terdampak bencana.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengupayakan peningkatan kesadaran Penyandang Disabilitas akan resiko utama dalam kesehatan masyarakat dan pencegahan turunnya kondisi higienis dan kesehatan lingkungan.
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan prioritas untuk memperoleh akses terhadap jumlah air yang memadai untuk memenuhi kebutuhan minum, memasak, kebersihan pribadi, dan rumah tangga yang mudah dijangkau.
(4)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan sarana mandi, cuci dan toilet yang aksesibel.

Pasal 138
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyusun rencana penyediaan layanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas dengan memperhatikan jenis disabilitas.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberi akses prioritas kepada penyandang disabilitas terhadap layanan kesehatan yang tepat, aman, dan bermutu yang terstandardisasi dan mengikuti ketentuan yang berlaku.

Pasal 139
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memastikan agar dalam situasi bencana, lingkungan belajar tetap aman, terlindung, mudah diakses dan memperhatikan peserta didik psikososial, guru, dan tenaga kependidikan lainnya.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memastikan proses belajar-mengajar berpusat pada peserta didik, dan bersifat partisipatif serta inklusif.
(3)   Proses belajar mengajar yang dimaksud pada ayat (2) harus memperhatikan ragam dan kegutuhan khusus Penyandang Disabilitas.

Pasal 140
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memastikan adanya pendampingan psikologis bagi Penyandang Disabilitas saat terjadi bencana.
(2)   Pendampingan psikososial seperti pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan jenis dan derajat disabilitas individu Penyandang Disabilitas.

Pasal 141
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan alat bantu dan pendampingan khusus bagi Penyandang Disabilitas sesuai dengan ragam disabilitas.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan perlindungan khusus bagi Penyandang Disabilitas terdampak bencana dari kekerasan, paksaan, dorongan untuk bertindak di luar kemauan dan rasa takut terhadap penganiayaan.
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memastikan agar harta benda dan aset Penyandang Disabilitas korban bencana aman dari pencurian dan penguasaan pihak lain.

Pasal 142
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memprioritaskan  Penyandang Disabilitas untuk mendapat tempat di lokasi pengungsian
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan sarana yang aksesibel di lokasi pengungsian

Paragraf 3
Pasca Bencana

Pasal 143
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana untuk Penyandang Disabilitas.
(2)   Penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana seperti yang dimaksud pada ayat (1) harus berorientasi kepada upaya pengurangan risiko bencana dan pemenuhan kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas.
(3)   Pemerintah Daerah wajib merencanakan, menyelenggarakan, dan mengawasi serta mengkoordinasikan seluruh program dan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana yang dilaksanakan oleh semua pihak.

Bagian Keempat Belas
Habilitasi dan Rehabilitasi

Pasal 144
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan habilitasi dan rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas.
(2)   Habilitasi dan rehabilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) bertujuan:
a.  memungkinkan Penyandang Disabilitas untuk mencapai dan mempertahankan kemandirian, kemampuan fisik, mental, sosial, dan keterampilan secara maksimal; dan
b. mengembangkan partisipasi dan inklusi di seluruh aspek kehidupan
(3)   Dalam menyediakan layanan habilitasi dan rehabilitasi  bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib menerapkan prinsip:
        a.   mengakui, melindungi, dan memenuhi hak Penyandang Disabilitas sesuai dengan undang-undang ini;
        b.   penghormatan penuh terhadap harkat dan martabat kemanusiaan dari penyandang disabilitas;
         c.   berbasis masyarakat;
        d.   bukan merupakan tempat penampungan
         e.   mengupayakan secara maksimal untuk Penyandang Disabilitas tetap tinggal dirumah sendiri; dan
          f.   dilakukan sejak dini dengan melibatkan penyandang disabilitas dan keluarga Penyandang Disabilitas.
 
Pasal 145
Habilitasi dan rehabilitasi berfungsi sebagai:
a.    sarana pendidikan dan pelatihan ketrampilan hidup;
b.   sarana antara atau transisi dalam mengatasi kondisi disabilitasnya; dan
c.    sarana untuk mempersiapkan Penyandang Disabilitas agar dapat hidup mandiri  di  masyarakat.

Pasal 146
(1)   Penanganan habilitasi dan rehabilitasi Penyandang Disabilitas dilakukan dalam bentuk antara lain:
a.     layanan habilitasi dan rehabilitasi harian;
b.     layanan habilitasi dan rehabilitasi di rumah; dan
c.      layanan habilitasi dan rehabilitasi berasrama.
(2)   Layanan habilitasi dan rehabilitasi harian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a diberikan dengan cara Penyandang Disabilitas tetap tinggal di rumah masing-masing dan mendatangi langsung pusat layanan
(3)   Layanan habilitasi dan rehabilitasi harian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan dengan cara Penyandang Disabilitas tetap tinggal di rumahnya dan petugas pemberi layanan mendatangi langsung Penyandang Disabilitas di rumahnya.
(4)   Layanan habilitasi dan rehabilitasi berasrama yang dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara Penyandang Disabilitas tinggal di asrama untuk mendapatkan layanan habilitasi dan rehabilitasi.
(5)   Layanan habilitasi dan rehabilitasi di rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan kepada Penyandang Disabilitas yang karena kondisi disabilitasnya tidak memungkinkan melakukan aktivitas di luar rumah.
(6)   Habilitasi dan rehabilitasi berasrama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pemberian kesempatan pada  Penyandang Disabilitas untuk tinggal di dalamnya selama menjalani proses habilitasi dan rehabilitasi.

Pasal 147
(1)   Penyelenggara layanan habilitasi dan rehabilitasi wajib mendorong Penyandang Disabilitas untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
(2)   Penyelenggara layanan habilitasi dan rehabilitasi wajib memberikan pelatihan dasar yang dibutuhkan bagi Penyandang Disabilitas pengguna layanan.
(3)   Penyelenggara layanan habilitasi dan rehabilitasi wajib memberikan pendidikan dan pelatihan kepada Penyandang Disabilitas bersangkutan dan keluarganya serta lingkungan sekitar.
(4)   Penyelenggara layanan habilitasi dan rehabilitasi wajib memberikan pelatihan mengenai penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas kepada para pengurus dan pemberi layanan.
(5)   Dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan ayat (1) dapat melibatkan masyarakat.
(6)   Penyelenggara layanan habilitasi dan rehabilitasi wajib memberikan pengobatan dan perawatan kesehatan yang memadai kepada Penyandang Disabilitas penerima layanan yang memerlukan.
(7)   Pengobatan dan perwatan kesehatan yang dimaksud pada ayat (7) termasuk kesehatan umum dan kesehatan yang melekat dengan disabilitasnya.

Pasal 148
(1)   Penyelenggara layanan habilitasi dan rehabilitasi wajib mendapatkan izin dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam pembentukan layanan habilitasi dan rehabilitasi.
(2)   Ijin dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah  diberikan kepada Penyelenggara Layanan habilitasi dan rehabilitasi apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
        a.   lokasi berada di tengah masyarakat;
        b.   menggunakan asrama dengan memperhatikan daya tampung;
         c.   memiliki kerjasama dengan fasilitas kesehatan;
        d.   memiliki pengurus yang profesional dengan mendapatkan pelatihan;
         e.   mempekerjakan konselor sesama Penyandang Disabilitas;
          f.   melaksanakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini;
        g.   memiliki  standar prosedur operasional  layanan habilitasi dan rehabilitasi yang dalam penyusunannya melibatkan organisasi Penyandang Disabilitas; dan
        h.   memiliki mekanisme pengambilan kebijakan yang melibatkan Penyandang Disabilitas penerima layanan.
(3)   Lembaga penyelenggara habilitasi dan rehabilitasi yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mendapatkan izin dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam kurun waktu 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak pengajuan izin.
(4)   Pemberian dan perpanjangan ijin diberikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan tersebut diajukan dan tanpa dikenai biaya.
(5)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan evaluasi izin yang diberikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sekali.

Pasal 149
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kinerja lembaga penyedia layanan habilitasi dan rehabilitasi  di wilayah kerja masing-masing.
(2)   Pengawasan yang dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan masyarakat.

Bagian Kelima Belas
Konsesi

Pasal 150
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan konsesi bagi Penyandang Disabilitas.
(2)  Konsesi bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a.    paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk transportasi massal darat, sungai, laut, dan udara milik pemerintah maupun swasta nasional;
b.   paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk tagihan listrik;
c.    paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk tagihan air;
d.   paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk harga sewa perumahan milik Negara;
e.    paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk berbagai sarana rekreasi dan pariwisata yang dikelola oleh Pemerintah;
f.     paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk biaya perjalanan haji yang dikelola Pemerintah;
g.    paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk pajak kendaraan bermotor;
h.   pembebasan biaya parkir di tempat parkir khusus disabilitas;
i.     paling sedikit 50% (lima puluh persen) potongan harga untuk perguruan tinggi;
j.     paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk tempat parkir umum; dan
k.   paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk pembelian rumah.

Pasal 151
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong pihak swasta untuk memberikan konsesi bagi Penyandang disabilitas, antara lain:
a.    potongan harga pada tempat wisata, hiburan, dan rekreasi;
b.   potongan harga pada restaurant dan tempat makan lainnya;
c.    potongan harga pada toko dan supermarket;
d.   potongan harga pada hotel dan penginapan; dan
e.    dan berbagai bentuk keringanan lainnya.

Pasal 152
Pemerintah memberikan insentif bagi pihak swasta yang memberikan keringanan bagi penyandang disabilitas berupa keringanan pajak.

Bagian Keenambelas
Pendataan dan Kartu Penyandang Disabilitas

Paragraf 1
Pendataan

Pasal 153
(1)   Badan Pusat Statistik wajib melakukan pendataan terhadap Penyandang Disabilitas melalui sensus nasional.
(2)   Pendataan terhadap Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memperoleh data akurat tentang jumlah dan gambaran kondisi Penyandang Disabilitas di Indonesia.
(3)   Data akurat tentang jumlah dan gambaran kondisi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk:
a.  mengidentifikasikan serta mengatasi hambatan yang dihadapi oleh Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan hak Penyandang Disabilitas; dan
b.  membantu perumusan dan implementasi kebijakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.

Pasal 154
(1)   Badan Pusat Statistik bertanggungjawab untuk membangun sistem pendataan Penyandang Disabilitas.
(2)   Sistem pendataan Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan ragam Penyandang Disabilitas.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem pendataan Penyandang Disabilitas diatur dengan peraturan Badan Pusat Statistik.

Pasal 155
Badan Pusat Statistik wajib berkoordinasi dengan KNDI dalam pelaksanaan pendataan Penyandang Disabilitas.

Pasal 156
Pendataan Penyandang Disabilitas dilakukan dengan prinsip:
a.    menjamin kerahasiaan dan penghormatan atas privasi Penyandang Disabilitas; dan
b.   melindungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta prinsip etika.
Pasal 157
Badan Pusat Statistik bertanggung jawab atas penyebarluasan hasil sensus Penyandang Disabilitas yang mudah diakses oleh masyarakat.

Pasal 158
Pemerintah wajib menyediakan anggaran bagi pelaksanaan pendataan Penyandang Disabilitas.

Paragraf 2
Kartu Penyandang Disabilitas

Pasal 159
(1)   Penyandang Disabilitas berhak mendapatkan KPD.
(2)   KPD berfungsi untuk mengakses berbagai pelayanan, program, serta konsesi yang tersedia bagi Penyandang Disabilitas.
(3)   KPD berlaku seumur hidup.

Pasal 160
(1)   Penyandang Disabilitas mendaftarkan diri secara aktif ke kantor desa/kelurahan untuk mendapatkan KPD.
(2)   Dalam hal Penyandang Disabilitas tidak mampu untuk melakukan pendaftaran sendiri ke kantor desa/kelurahan, proses pendaftaran dapat dilakukan oleh orang yang mendapat kuasa.
(3)   Bagi Penyandang Disabilitas yang berusia dibawah 18 tahun, pendaftaran dilakukan oleh orang tua, wali, atau orang yang mendapat kuasa.
(4)   Pendaftaran KPD bersifat sukarela.

Pasal 161
(1)   Syarat untuk mendapatkan KPD adalah sebagai berikut:
a.     mengisi formulir pendaftaran KPD;
b.     melampirkan formulir keterangan disabilitas; dan
c.      melampirkan KTP dan/atau akta kelahiran.
(2)   Formulir keterangan disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diisi oleh dokter di puskesmas, rumah sakit, atau layanan kesehatan lainnya.
(3)   Dokter dan penyelenggara layanan kesehatan wajib memenuhi permintaan untuk melakukan penilaian dan mengisi formulir keterangan disabilitas berdasarkan penilaian tersebut.
(4)   Penyelenggara layanan kesehatan milik pemerintah wajib melayani permintaan penilaian dan pengisian formulir keterangan disabilitas tanpa dipungut biaya.
(5)   Pemerintah wajib menyediakan dan menjamin ketersediaan formulir pendaftaran KPD dan formulir keterangan disabilitas.

Pasal 162
(1)   Pemerintah wajib melakukan pencatatan terkait setiap orang yang berhak mendapatkan KPD.
(2)   Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara proaktif oleh Pemerintah.

Bagian Ketujuhbelas
Komunikasi dan Informasi

Paragraf 1
Umum

Pasal 163
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin penggunaan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi Penyandang Disabilitas.
(2)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak Penyandang Disabilitas untuk memilih bentuk komunikasi dalam berekspresi dan berpendapat.
Paragraf 2
Komunikasi

Pasal 164
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengakui, menerima, dan memfasilitasi komunikasi dengan menggunakan cara tertentu, termasuk bahasa isyarat, bahasa isyarat raba, huruf braille, audio, visual, atau komunikasi augmentatif atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya.
(2)  Komunikasi dengan menggunakan cara tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara, alat, dan bentuk lainnya yang dapat dijangkau sesuai dengan pilihan Penyandang Disabilitas dalam interaksi resmi.

Pasal 165
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengakui dan memajukan pemakaian bahasa isyarat.
(2)  Bahasa isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa bahasa isyarat Indonesia.

Pasal 166
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam upaya mengakui dan memajukan Bisindo wajib:
a.    memasukan Bisindo dalam kurikulum pendidikan nasional indonesia bagi penyandang disabilitas;
b.   mengembangkan kamus Bisindo;
c.    menyediakan versi Bisindo di setiap forum resmi kenegaraan; dan
d.   mendorong penggunaan Bisindo dalam setiap forum publik.

Pasal 167
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membangun sistem sertifikasi bagi penerjemah Bisindo.
(2)  Sistem sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup proses seleksi, pelatihan, dan kode etik bagi penerjemah Bisindo.
(3)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib bekerja sama dengan organisasi disabilitas yang bergerak di bidang pengembangan Bisindo dalam melaksanakan sistem sertifikasi penerjemah Bisindo.

Paragraf 3
Informasi

Pasal 168
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses atas informasi bagi Penyandang Disabilitas.
(2)  Informasi bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain media dalam bentuk Braille, audio, dan visual.

Pasal 169
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi dalam bentuk yang dapat dijangkau dan dipahami sesuai dengan keragaman disabilitas dan kondisi tempat tinggalnya.
(2)  Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapatkan secara tepat waktu dan tanpa biaya tambahan.

Pasal 170
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat regulasi tentang pelayanan informasi publik melalui internet, media audio visual yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan sosialisasi pelayanan informasi publik yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(3)  Pelayanan informasi publik melalui internet yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar desain aksesibilitas laman bagi Penyandang Disabilitas.
(4)  Pelayanan informasi publik melalui media audio visual yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyediakan antara lain penerjemah Bisindo dan teks berjalan.

Pasal 171
(1)  Dalam upaya menyediakan akses informasi dalam bentuk media cetak dan audio terhadap Penyandang Disabilitas, Perpustakaan Nasional wajib:
a.    membangun sistem dalam pengadaan dan distribusi media cetak dengan menggunakan huruf braille atau audio.
b.   mencantumkan persyaratan kepada penerbit untuk menyerahkan salinan lunak buku yang akan diterbitkan sebagai syarat guna mendapatkan nomor identifikasi standar buku nasional.
(2)  Perpustakaan Nasional dapat bekerja sama dengan pihak Pemerintah maupun swasta dalam hal pengadaan dan distribusi media informasi versi braille, audio, dan visual

Pasal 172
(1)  Pemerintah memberlakukan peraturan pengecualian hak kekayaan intelektual suatu karya yang dialihbentukan agar dapat diakses oleh Penyandang Disabilitas.
(2)  Alih bentuk yang dimaksud dalam ayat (1) termasuk menjadi bentuk huruf braille, audio, dan replika.

Pasal 173
(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melaksanakan penelitian, pengembangan, penyediaan dan penggunaan teknologi baru yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas secara berkelanjutan.
(2)  Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk teknologi informasi dan komunikasi, peralatan dan teknologi bantu, yang cocok untuk penyandang disabilitas dengan biaya yang terjangkau.

Bagian Kedelapanbelas
Perempuan Dan Anak

Pasal 174
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberi perlindungan dan layanan kesehatan reproduksi sejak dini kepada Penyandang Disabilitas dan keluarga terutama perempuan dan remaja.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi kesehatan reproduksi bagi Penyandang Disabilitas dan keluarga terutama perempuan dan remaja.

Pasal 175
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melindungi perempuan Penyandang Disabilitas dari tindakan pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi maupun sterilisasi.
(2)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melindungi perempuan Penyandang Disabilitas dalam berkeluarga, melahirkan dan mengasuh anak.

Pasal 176
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan pusat layanan informasi dan tindak cepat atas korban kekerasan terhadap perempuan Penyandang Disabilitas.

Pasal 177
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan rumah aman yang aksesibel bagi perempuan Penyandang Disabilitas.

Pasal 178
(1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan perlindungan khusus terhadap anak dengan disabilitas dari:
a.  keterlantaran;
b.  tindak kekerasan baik di dalam maupun di luar rumah;
c.  hambatan untuk mengembangkan diri;
d.  hambatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak; dan
e.  hambatan untuk menentukan pilihan terbaik bagi kepentingan terbaik anak.
(2)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan kebijakan dan program yang menjamin anak dengan disabilitas dapat tumbuh dan berkembang dalam asuhan keluarga.
(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan kebijakan dan program yang inklusif bagi anak dengan disabilitas.

Bagian Kesembilanbelas
Sosial Dan Budaya

Pasal 179
Pemerintah wajib melindungi Hak Kekayaan Intelektual Penyandang Disabilitas.

Pasal 180
(1)   Pemerintah wajib mengembangkan potensi dan kemampuan seni Penyandang Disabilitas.
(2)   Pengembangan potensi dan kemampuan seni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.  memfasilitasi penyertaan Penyandang Disabilitas dalam pendidikan seni, sanggar seni, pertunjukan seni, pameran seni, festival seni, dan kegiatan seni lainnya secara inklusif baik tingkat daerah, nasional, maupun internasional;
b.  mengembangkan sanggar seni khusus Penyandang Disabilitas;
c.  menyelenggarakan dan menyertakan seniman Penyandang Disa;bilitas dalam pertunjukan seni, pameran seni, festifal seni dan kegiatan seni lainya pada tingkat daerah, nasional, maupun internasional yang diselenggarakan khusus bagi Penyandang Disabilitas; dan
d.  memberikan penghargaan yang pantas dan setara dengan seniman lainnya atas karya seni yang berkualitas yang dihasilkan oleh seniman Penyandang Disabilitas.

Pasal 181
Pemerintah wajib melindungi dan memajukan budaya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan hak Penyandang Disabilitas.

Pasal 182
Penyandang Disabilitas berhak untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan atas identitas budaya dan linguistik mereka yang khusus, termasuk bahasa isyarat dan budaya tuna rungu.



 [MA1]Tambahkan penjelasan