BAB IV
PELAKSANAAN PENGHORMATAN,
PERLINDUNGAN, DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS
Pasal 26
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
melakukan:
a.
perencanaan pelaksanaan, penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak Penyandang Disabilitas;
b.
pelaksanaan, penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak Penyandang Disabilitas; dan
c.
evaluasi pelaksanaan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas.
Pasal 27
Perencanaan pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas wajib dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui
penyusunan cetak biru implementasi penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Pasal
28
Dalam
rangka melaksanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk mekanisme koordinasi baik
di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Pasal 29
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan mekanisme koordinasi di tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, bertugas:
a.
mewujudkan
harmonisasi program dan kebijakan dalam rangka pelaksanaan penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas;
b. menjamin pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas berjalan dengan efektif; dan
c. mewujudkan penggunaan anggaran dalam pelaksanaan
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas
berjalan dengan efisien.
Pasal 30
(1) Mekanisme
koordinasi di tingkat pusat dipimpin oleh Wakil Presiden.
(2) Mekanisme
koordinasi di tingkat provinsi dipimpin oleh Wakil Gubernur.
(3) Mekanisme
koordinasi di tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh Wakil Bupati/Walikota.
Pasal 31
Cetak biru
implementasi penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas dan mekanisme
koordinasi sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 27 dibentuk
dan disahkan dengan:
a. peraturan Presiden untuk
tingkat nasional;
b.
peraturan
Gubernur untuk tingkat Provinsi; dan
c.
peraturan
Bupati/Walikota tingkat Kabupaten/Kota.
Pasal
32
(1)
Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
(2)
Evaluasi terhadap pelaksanaan penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilaporkan
setiap 1 (satu) tahun.
(3)
Laporan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib dipublikasikan melalui media cetak dan elektronik
dan dapat diakses oleh masyarakat.
Keadilan dan Perlindungan Hukum
Pasal 33
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin dan melindungi Hak
Penyandang Disabilitas sebagai subyek hukum untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum yang sama dengan lainnya di semua aspek kehidupan.
Pasal 34
(1) Penyandang Disabilitas dapat
dinyatakan tidak cakap berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri.
(2) Penetapan pengadilan negeri
mengenai ketidakcakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan melalui
permohonan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal Penyandang Disabilitas.
(3) Permohonan penetapan pengadilan
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan alasan yang jelas dan wajib
melampirkan bukti dari psikolog, psikiater, atau tenaga ahli profesional.
(4) Bukti yang disampaikan oleh
pemohon dilakukan penilaian yang dilakukan tim independen yang dibentuk oleh
Ketua Pengadilan negeri.
(5) Tim independen sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (3) memiliki kompetensi dan tidak memihak.
(6) Tim
independen sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) terdiri dari petugas
pengadilan, petugas kesehatan, dan organisasi penyandang disabilitas yang
bertugas untuk menilai ketidakcakapan Penyandang Disabilitas yang dimohonkan.
(7) Hasil penilaian yang dilakukan
oleh tim independen dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(8) Ketua Pengadilan Negeri
mengambil keputusan berdasarkan penilaian yang dilakukan tim independen dengan
memperhatikan:
a. penghormatan
terhadap hak, kehendak, dan pilihan penyandang disabilitas;
b. keadaan
penyandang disabilitas;
c. kepentingan
terbaik bagi penyandang disabilitas; dan
d. konflik
kepentingan dan pengaruh yang tidak semestinya
Pasal 35
(1) Jangka
waktu ketetapan pengadilan negeri mengenai ketidakcakapan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) berlaku paling lama 1 (satu)
tahun.
(2) Pembatalan
penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
diajukan ke Mahkamah Agung.
(3) Pengajuan pembatalan seperti tercantum pada ayat (1) diajukan
oleh Penyandang Disabilitas atau pihak yang berkepentingan dengan melampirkan
bukti berupa penilaian dari tenaga terlatih dan/atau organisasi penyandang
disabilitas bahwa yang bersangkutan dinilai mampu dan cakap untuk mengambil
keputusan
(4) Permohonan
pembatalan penetapan pengadilan ke Mahkamah Agung tidak dikenai biaya.
Pasal 36
(1) Penyandang Disabilitas berhak
menunjuk seseorang untuk mewakili kepentingannya pada saat Penyandang
Disabilitas ditetapkan tidak cakap oleh Pengadilan Negeri.
(2) Dalam hal seseorang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditunjuk mewakili kepentingan Penyandang Disabilitas
melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah, berkurang atau hilangnya
hak kepemilikan Penyandang Disabilitas wajib mendapat persetujuan dari Pengadilan
Negeri.
Pasal 37
(1) Lembaga Penegak hukum wajib
menyediakan akomodasi yang layak bagi Penyandang Disabilitas dalam proses
peradilan.
(2) Akomodasi yang layak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. adanya penerjemah bahasa
isyarat dan/atau pendamping yang dipercayai dan memahami Penyandang Disabilitas
dalam setiap proses peradilan;
b. adanya ruangan tahanan khusus
bagi Penyandang Disabilitas;
c. adanya waktu yang fleksibel
bagi Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan;
d. adanya petugas yang memiliki
pemahaman tentang disabilitas dan hak-hak penyandang disabilitas; dan
e. adanya layanan perawatan bagi Penyandang
Disabilitas yang sedang menjalani proses perawatan.
(3) Penegak hukum dalam proses
peradilan wajib melaksanakan penyediaan akomodasi yang layak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal
38
(1) Penegak hukum sebelum memeriksa
Penyandang Disabilitas sebagai saksi, tersangka, terdakwa atau korban wajib
meminta pertimbangan atau saran dari dokter, psikolog, psikiater, atau tenaga
ahli profesional untuk mengetahui kondisi kesehatan atau kejiwaan penyandang
disabilitas.
(2) Dalam hal pertimbangan atau
saran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memungkinkan dilakukan
pemeriksaan maka dilakukan penundaan hingga pulihnya penyandang disabilitas.
Pasal
39
Penegak
hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap Penyandang Disabilitas anak wajib mengizinkan
kepada orangtua atau keluarga anak dan pendamping atau penerjemah untuk
mendampingi Penyandang Disabilitas anak.
Pasal
40
Proses
peradilan pidana bagi penyandang disabilitas dilaksanakan sesuai dengan hukum
acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang ini.
Pasal
41
Penahanan
terhadap Penyandang Disabilitas mental sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1) huruf c wajib ditempatkan dalam layanan rumah sakit, tempat rehabilitasi
atau layanan pemulihan lain yang terdekat.
Pasal
42
Selain
alat bukti yang tertera dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat bukti
lainnya yang dapat digunakan dalam pembuktian di persidangan yang melibatkan
Penyandang Disabilitas antara lain:
a. melalui keterangan korban;
b. melalui indera penciuman korban;
c. melalui indera pendengaran
korban; dan
d. melalui indera perabaan korban.
Pasal 43
(1) Rumah
tahanan negara dan lembaga permasyarakatan wajib menyediakan unit layanan bagi
penyandang disabilitas.
(2) Pusat
layanan bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berfungsi antara lain:
a. menyediakan
pelayanan masa adaptasi bagi tahanan penyandang disabilitas selama 6 bulan;
b. menyediakan
kebutuhan khusus termasuk obat-obatan
yang melekat pada penyandang disabilitas dalam masa tahanan dan pembinaan; dan
c. menyediakan
layanan
rehabilitasi bagi penyandang disabilitas mental.
Pasal
44
a.
Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib melakukan sosialisasi perlindungan hukum kepada
masyarakat dan aparatur negara tentang perlindungan penyandang disabilitas.
b.
Informasi dan pendidikan
dimaksud ayat (1) mencakup:
a.
pencegahan;
b.
mengenali tindak
pidana; dan
c.
tata cara pelaporan
kasus eksploitasi, kekerasan dan pelecehan.
Bagian Ketiga
Pendidikan
Pasal 45
(1) Pemerintah
dan
Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan bagi Penyandang
Disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
(2) Penyelenggaraan
pendidikan bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusif dan
pendidikan khusus.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengikutsertakan
anak dengan disabilitas dalam program wajib belajar 12 tahun.
(4) Pemerintah
Daerah wajib mengutamakan anak dengan disabilitas bersekolah dilokasi yang
dekat tempat tinggalnya.
(5) Pemerintah
Daerah memfasilitasi Penyandang Disabilitas yang tidak berpendidikan formal
untuk mendapatkan ijasah pendidikan dasar dan menengah melalui program
kesetaraan
(6) Pemerintah
dan Pemerintah daerah wajib menyediakan beasiswa bagi siswa penyandang disabilitas yang tidak mampu secara ekonomi
atau berprestasi
(7) Pemerintah
dan pemerintah Daerah wajib menyediakan beasiswa bagi anak dari Penyandang
Disabilitas yang tidak mampu secara ekonomi.
(8) Lembaga
penyelenggara pendidikan wajib menerima siswa atau mahasiswa Penyandang
Disabilitas.
Pasal 46
(1) Pemerintah
dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pendidikan inklusif dan pendidikan
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib memfasilitasi
penyandang disabilitas untuk mempelajari keterampilan dasar yang dibutuhkan
untuk kemandirian dan partisipasi penuh dalam menempuh pendidikan dan
pengembangan sosial
(2) Keterampilan
dasar yang dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. Keterampilan
menulis dan membaca huruf Braille;
b. Keterampilan
orientasi dan mobilitas;
c. Keterampilan
sistem dukungan dan mentoring sesama penyandang disabilitas;
d. Keterampilan
komunikasi dalam bentuk, sarana dan format yang bersifat augmentatif dan
alternatif;
e. Keterampilan
Bisindo dan pemajuan identitas linguistik dari komunitas tuna rungu;
Pasal 47
Pendidikan
inklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan penyelenggaraan
pendidikan bagi siswa Penyandang Disabilitas untuk belajar bersama dengan siswa
yang bukan Penyandang Disabilitas di sekolah regular maupun perguruan tinggi.
Pasal 48
(1) Pemerintah daerah wajib membangun pusat layanan disabilitas di setiap
kecamatan guna mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif tingkat dasar dan
menengah.
(2) Setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib membentuk Pusat layanan
Disabilitas.
(3) Pusat layanan disabilitas bagi pendidikan tingkat dasar dan menengah
sebagaimana disebut pada ayat (1) berfungsi meliputi
a. meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan disekolah
regular dalam menangani anak dengan disabilitas melalui penyelenggaraan
pelatihan;
b. menyediakan pendampingan kepada siswa Penyandang Disabilitas untuk
mendukung kelancaran proses pembelajaran;
c. mengembangkan program kompensatorik;
d. menyediakan media pembelajaran dan alat bantu yang diperlukan siswa;
e. melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi siswa dan calon siswa
Penyandang Disabilitas;
f. menyediakan data dan informasi tentang disabilitas;
g. menyediakan layanan konsultasi;
h. mengembangkan kerjasama dengan pihak atau lembaga lain dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan siswa .
(4) Pusat layanan disabilitas bagi pendidikan tinggi sebagaimana disebut
pada ayat (2) berfungsi meliputi
a. mengkoordinasikan setiap unit
kerja yang ada di perguruan tinggi dalam upaya pemenuhan kebutuhan khusus
mahasiswa;
b. menyediakan fasilitas dan
layanan khusus yang dibutuhkann mahasiswa;
c. mengawasi dan mengevaluasi
pelaksanaan akomodasi yang layak ;
d. menyediakan layanan konseling
terhadap mahasiswa
e. melakukan deteksi dini bagi mahasiswa yang terindikasi penyandang
disabilitas;
f. merujuk mahasiswa yang terindikasi disabilitas kepada professional terkait;
g. memberikan sosialisasi
pemahaman disabilitas dan sistem pendidikan inklusif kepada tenaga pendidik,
tenaga kependidikan dan mahasiswa
(5) Anggaran pembentukan pusat
layanan disabilitas di pendidikan tinggi
berasal dari APBN
Pasal 49
(1) Lembaga penyelenggara pendidikan wajib
menyediakan akomodasi yang layak bagi siswa Penyandang disabilitas
(2) Akomodasi yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) antara lain meliputi:
a. fasilitas;
b. proses dan metode; dan
c. layanan administrasi.
(3) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a meliputi:
a. penyediaan
fasilitas belajar yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas;
b. penyediaan
tenaga pendidik yang memiliki kemampuan menangani siswa penyandang disabilitas;
c. pemanfaatan
tekhnologi adaptif; dan
d. penyesuaian
lokasi ujian dengan kebutuhan individual penyandang disabilitas
(4) Proses
dan metode sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a.
posisi duduk yang memudahkan penyandang
disabilitas mengikuti proses belajar;
b.
penyediaan mentor;
c.
penyediaan asisten sebagai pencatat;
d.
penyediaan penerjemah bisindo;
e.
penyesuaian waktu istirahat sesuai dengan
kebutuhan;
f.
penyediaan fasilitas termasuk alat perekam;
g.
penyesuaian bentuk, cara penyajian, dan model
soal evaluasi;
h.
penyesuaian banyaknya mata ujian per hari dengan
kebutuhan khusus siswa;
i.
penyesuaian cara pengerjaan evaluasi dan tugas
dengan kebutuhan khusus siswa;
j.
penyesuaian waktu untuk pengerjaan evaluasi dan
tugas;
k.
penyediaan asistensi dalam memilih mata kuliah;
dan
l.
sistem seleksi penerimaan siswa yang aksesibel
dan tidak diskriminatif.
(5) Layanan
administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:
a. penyediaan
akses dalam pengisian rencana perkuliahan;
b. penyediaan
layanan dalam format yang aksesibel untuk setiap ragam disabilitas;
c. penyediaan
tenaga kependidikan yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan siswa
penyandang disabilitas; dan
d. adanya
fleksibilitas masa dan batas waktu belajar baik pada pendidikan dasar/menengah
maupun perguruan tinggi, yang disesuaikan dengan kondisi kebutuhan khusus siswa
disabilitas.
Pasal 50
Perguruan
Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan wajib memasukan mata kuliah
tentang pendidikan inklusif dalam kurikulum.
Pasal 51
(1) Pendidikan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan sistem pendidikan yang hanya memberikan layanan kepada peserta didik
Penyandang Disabilitas, dengan menggunakan
kurikulum khusus
(2) Penyelenggaraan Pendidikan Khusus dilaksanakan pada Sekolah Luar
Biasa.
(3) Penyelenggaraan pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan dengan tujuan:
b. mempersiapkan siswa penyandang disabilitas yang akan menempuh
pendidikan disekolah reguler.
Pasal 52
(4) Pendidikan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan penyelenggaraan pendidikan yang hanya memberikan layanan kepada
peserta didik Penyandang Disabilitas dengan kurikulum khusus, proses
pembelajaran khusus, dibimbing dan/atau diasuh oleh tenaga pendidik khusus dan
dilaksanakan di tempat belajar yang khusus.
(5) Penyelenggaraan pendidikan khusus dilaksanakan pada sekolah luar
biasa.
(6) Sekolah Luar Biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan suatu
pilihan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas atau orangtuanya yang
menginginkan pengembangan keterampilan peserta didik penyandang disabilitas.
(7) Penyelenggaraan Pendidikan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan tujuan:
c. memberikan layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang
disabilitas yang khusus memilih pengembangan keterampilan;
d. mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti sistem pendidikan inklusif;
e. membantu menyediakan informasi dan konsultasi tentang penyelenggaraan
pendidikan inklusif;
f. membantu meningkatkan kompetensi tenaga pendidik di sekolah reguler di
bidang layanan pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas; dan
g. membantu pengembangan program khusus bagi peserta didik penyandang
disabilitas di sekolah reguler.
Pasal 53
(1) Setiap penyelenggara pendidikan pada semua jalur, jenis dan jenjang
pendidikan wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi peserta didik Penyandang
Disabilitas.
(2) Pemerintah wajib memfasilitasi setiap penyelenggara pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
penyediaan akomodasi yang layak bagi peserta didik Penyandang
Disabilitas.
(3) Akomodasi yang layak bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi:
a. tenaga pendidik yang memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang
layanan pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas;
b. tenaga kependidikan yang mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan
non akademik yang diperlukan peserta didik Penyandang Disabilitas di lingkungan
satuan pendidikan;
c. sistem penerimaan calon peserta didik Penyandang Disabilitas yang
aksesibel dan non diskriminatif;
d. kurikulum dan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kemampuan,
kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik Penyandang Disabilitas;
e. strategi, model, dan metode pembelajaran yang disesuaikan dengan
kemampuan, kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik Penyandang
Disabilitas;
f. media dan teknologi pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan,
kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik Penyandang Disabilitas;
g. sistem penilaian pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan,
kondisi, dan kebutuhan individu peserta didik Penyandang Disabilitas;
h. sarana dan prasarana pendidikan yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas;
i. lingkungan fisik, psikologis, dan sosial yang ramah terhadap
Penyandang Disabilitas;
j. layanan sistem administrasi yang aksesibel dan non diskriminatif bagi
Penyandang Disabilitas;
k. pengembangan program khusus bagi penyandang disabilitas; dan
l. layanan individual lainnya sebagai pendukung program akademik.
Pasal 54
Pemenuhan Tenaga pendidik yang memiliki kompetensi yang memadai dalam
bidang layanan pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 53 ayat (3) huruf a dapat dilakukan melalui:
a. diskusi, seminar, simposium, lokakarya dan sejenisnya tentang layanan
pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas untuk pendidik satuan
pendidikan reguler;
b. pelatihan yang dilakukan khusus untuk meningkatkan kemampuan tentang
layanan pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas untuk pendidik
satuan pendidikan reguler;
c. program sertifikasi pendidikan khusus untuk pendidik satuan pendidikan
reguler;
d. pemberian bantuan beasiswa pada bidang pendidikan khusus untuk pendidik
satuan pendidikan reguler;
e. tugas belajar pada program pendidikan khususuntuk pendidik satuan
pendidikan reguler; dan
f. pengangkatan tenaga pendidik yang memiliki kompetensi di bidang
pendidikan khusus.
Pasal 55
Program
khusus bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (3)
huruf k meliputi:
a. pemanfaatan dan pengembangan simbol braille;
b. pengembangan kemampuan orientasi dan mobilitas tunanetra;
c. pengembangan kemampuan komunikasi, persepsi bunyi dan irama bagi
tunarungu;
d. pemanfaatan dan pengembangan berbagai system bahasa isyarat;
e. pengembangan kemampuan bina kemandirian;
f. pengembangan kemampuan bina gerak;
g. pengembangan kemampuan bina sosialitas;
h. pengembangan kemampuan pemusatan konsentrasi; dan
i. pengembangan program khusus lainnya bagi peserta didik Penyandang
Disabilitas majemuk.
Pasal 56
(1) Setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib membentuk Pusat Layanan
Disabilitas.
(2) Pemerintah wajib membentuk sekurang-kurangnya sebuah Pusat Layanan
Disabilitasdi setiap kecamatan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan sistem
pendidikan inklusif bagi penyelenggara pendidikan jenjang usia dini, dasar dan
menengah.
(3) Kegiatan Pusat Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2) meliputi:
a. peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam bidang
layanan pendidikan yang berkualitas bagi Penyandang Disabilitas;
b. pendampingan peserta didik Penyandang Disabilitas untuk mendukung
kelancaran proses pembelajaran dan upaya pemenuhan dan pemajuan hak pendidikan
Penyandang Disabilitas;
c. pengembangan program kompensatorik;
d. penyediaan media pendidikan dan alat bantu khusus lainnya yang
diperlukan peserta didik Penyandang Disabilitas;
e. pelaksanaan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik dan
calon peserta didik Penyandang Disabilitas, baik secara mandiri atau
bekerjasama dengan pihak lain;
f. pusat data, konsultasi, dan
informasi disabilitas; dan
g. pengembangan jejaring kerja dengan pihak atau lembaga lain dalam upaya
pemenuhan dan pemajuan hak pendidikan bagi Penyandang Disabilitas.
Pasal 57
Pemerintah wajib
menjamin penyelenggaraan layanan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas terutama
Penyandang Disabilitas majemuk yang disampaikan dalam bahasa, bentuk dan sarana
komunikasi yang sesuai bagi individu dan di dalam lingkungan yang memaksimalkan
pengembangan akademis dan sosialnya.
Pasal 58
Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
keguruan wajib memasukkan mata kuliah tentang pendidikan inklusif dalam
kurikulum.
Bagian Keempat
Pekerjaan
Pasal 59
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan, penempatan
kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan
karir
yang adil dan non diskriminasi bagi Penyandang Disabilitas.
Pasal 60
(1) Pemerintah dan Pemerintah
daerah wajib memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk
mengikuti latihan ketrampilan kerja dibalai latihan kerja atau layanan sejenis
(2) Balai latihan kerja yang
dimaksud pada ayat (1) harus bersifat inklusif dan aksesibel
Pasal 61
Pemberi kerja dalam proses rekrutmen tenaga kerja Penyandang Disabilitas wajib:
a.
menghilangkan syarat sehat jasmani dan rohani;
b.
menghilangkan tes psikologi;
c.
memperhatikan komptensi dan keahlian;
d.
menghilangkan jenis tes yang tidak sesuai dengan Penyandang Disabilitas;
e.
menyediakan asistensi dalam proses pengisian formulir aplikasi, dan
proses lainnya yang diperlukan;
f.
menyediakan alat dan bentuk tes yang sesuai dengan kondisi disabilitas; dan
g.
memberikan keleluasaan dalam waktu pengerjaan tes.
Pasal 62
Pemberi
kerja dalam
proses penerimaan dan penempatan tenaga kerja Penyandang Disabilitas wajib:
a.
memberikan kesempatan untuk masa orientasi atau adaptasi
diawal masa kerja untuk menentukan apa yang diperlukan, termasuk
penyelenggaraan pelatihan atau magang;
b. menyediakan tempat bekerja yang
fleksibel dengan menyesuaikan kepada jenis disabilitas tanpa mengurangi target
tugas kerja;
c. menyediakan waktu istirahat
sesuai dengan kebutuhan;
d. menyediakan jadwal kerja yang
fleksibel dengan tetap memenuhi alokasi waktu kerja;
e. memberikan asistensi dalam
pelaksanaan pekerjaan dengan memperhatikan kebutuhan khusus Penyandang
Disabilitas; dan
f. memberikan izin atau cuti khusus
untuk pengobatan.
Pasal 63
Pemberi kerja wajib memberi upah kepada tenaga kerja Penyandang Disabilitas yang sama
dengan tenaga kerja yang bukan Penyandang Disabilitas dalam jenis pekerjaan yang sama.
Pasal 64
(1) Pemberi kerja
wajib menyediakan akomodasi yang layak dan aksesibel bagi tenaga kerja
Penyandang Disabilitas.
(2) Pemberi kerja wajib melindungi penyandang disabilitas dari kecelakaan kerja.
(3) Pemberi kerja wajib melindungi penyandang disabilitas dari tindakan kriminal antara lain
kekerasan fisik,
kekerasan verbal, kekerasan psikologis,
penindasan, atau pelecehan.
(4) Pemberi kerja wajib membuka mekanisme pengaduan atas tidak terpenuhi hak penyandang disabilitas.
(5) Pemberi kerja wajib memberikan ganti rugi yang diajukan penyandang disabilitas atas tidak terpenuhinya haknya.
(6) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mensosialisasikan
penyediaan akomodasi yang layak dan fasilitas yang
aksesibel bagi tenaga kerja Penyandang
Disabilitas.
Pasal 65
Pemberi kerja wajib menjamin agar Penyandang Disabilitas dapat melaksanakan hak berserikat dalam lingkungan pekerjaan.
Pasal 66
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
akses yang setara bagi Penyandang Disabilitas terhadap manfaat dan program
pensiun.
Pasal 67
(1)
Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan swasta wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya 2% (dua
persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
(2)
Kewajiban
mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk pemberi kerja yang memiliki paling sedikit
50 (lima puluh) orang pegawai atau pekerja.
(3)
Pemerintah
dam Pemerintah daerah wajib mengawasi pelaksanaan dan mensosialisasikan
ketentuan mempekerjakan sekurang-kurangnya 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas
dari jumlah pegawai atau pekerja.
Pasal 68
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan pengurangan pajak kepada pemberi kerja swasta yang mempekerjakan Penyandang Disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 69
(1) Pemerintah Daerah melalui dinas
tenaga kerja wajib memiliki unit layanan disabilitas.
(2) Tugas unit layanan disabilitas
adalah:
a. merencanakan penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak atas pekerjaan Penyandang Disabilitas;
b. memberikan informasi kepada
lembaga pemerintah dan swasta, tentang proses pelatihan, perekrutan, penerimaan
dan penempatan kerja Penyandang Disabilitas;
c. menyediakan pendampingan kepada
tenaga kerja Penyandang Disabilitas;
d. menyediakan pendampingan kepada
pemberi kerja pemerintah atau swasta yang menerima tenaga kerja Penyandang
Disabilitas; dan
e. mengkoordinasikan pusat layanan
disabilitas, pemberi kerja, dan tenaga kerja dalam pemenuhan dan penyediaan
alat bantu kerja bagi Penyandang Disabilitas.
(3) Anggaran pembentukan unit
layanan disabilitas berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja
Daerah.
(4) Pegawai unit layanan
disabilitas berasal dari dinas tenaga kerja.
Bagian Kelima
Kesehatan
Pasal
70
(1)
Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan swasta wajib memastikan layanan kesehatan menerima pasien
Penyandang Disabilitas.
(2)
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan kesehatan dengan standar
kesehatan tertinggi kepada Penyandang Disabilitas tanpa diskriminasi.
(3) Standar kesehatan tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. jasa tenaga medis dan paramedis;
b.
obat-obatan;
c.
alat bantu medis;
d.
rehabilitasi medis;
dan
e.
peralatan kesehatan
lainnya yang dibutuhkan.
Pasal
71
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan
layanan kesehatan melekat bagi Penyandang Disabilitas.
(2)
Layanan kesehatan melekat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi untuk melakukan
penanganan terhadap Penyandang Disabilitas.
(3)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi khusus dari tingkat pusat sampai ke tingkat
puskesmas.
(4)
Dalam hal tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi khusus untuk melakukan penanganan terhadap
Penyandang Disabilitas belum tersedia di puskesmas, tenaga kesehatan yang ada
di puskesmas wajib memberikan pelayanan melekat dengan berkonsultasi kepada
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi khusus pada layanan kesehatan yang
lebih tinggi.
(4)
Konsultasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi khusus bagi Penyandang Disabilitas
dapat dilakukan melalui media elektronik.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme konsultasi tenaga kesehatan kepada tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi khusus bagi
Penyandang Disabilitas diatur dalam peraturan menteri yang membidangi
urusan pemerintah di bidang kesehatan.
Pasal
72
(1)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menyediakan obat kesehatan yang melekat pada ragam
Penyandang Disabilitas.
(2)
Penyediaan obat
kesehatan yang melekat pada ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sampai tingkat puskesmas di seluruh wilayah Indonesia.
(3)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menyediakan alat bantu kesehatan yang melekat pada
ragam Penyandang Disabilitas.
Pasal
73
(1)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menyediakan pelayanan kesehatan khusus yang dibutuhkan
oleh Penyandang Disabilitas.
(2)
Pelayanan kesehatan
khusus yang dibutuhkan oleh Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) termasuk deteksi dini, identifikasi dini, intervensi yang sesuai, dan
pelayanan yang dirancang untuk meminimalkan dan mencegah disabilitas lebih
lanjut.
Pasal
74
(1)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menyediakan obat-obatan kesehatan yang melekat pada
disabilitas dengan efek samping terendah yang sesuai kebutuhan Penyandang
Disabilitas.
(2)
Penyediaan obat-obatan
yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai tingkat Puskesmas di seluruh
wilayah Indonesia.
Pasal
75
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan rehabilitasi medis sesuai kebutuhan
Penyandang Disabilitas.
Pasal
76
(1)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan kesehatan bagi Penyandang
Disabilitas yang terintegrasi sampai dengan tingkat puskesmas atau yang
dipersamakan.
(2)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melatih tenaga medis dan para medis di wilayahnya agar
mampu memberikan pelayanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas.
Pasal
77
(1)
Tenaga kesehatan dalam
melakukan tindakan medis, pengobatan dan pemasangan alat kontrasepsi bagi
Penyandang Disabilitas wajib mendapatkan persetujuan langsung atau tertulis
dari Penyandang Disabilitas.
(2)
Persetujuan langsung
atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan penjelasan
mengenai tindakan medis dan pengobatan yang akan dilakukan.
(3)
Tenaga Kesehatan dalam
melakukan tindakan medis dan pengobatan wajib mematuhi standar etika.
Pasal 78
(1) Rumah
sakit jiwa maupun bangsal psikiatri di rumah sakit umum wajib menyediakan
fasilitas rawat inap yang layak dengan
tindakan pelayanan yang manusiawi dan menghargai martabat pasien.
(2) Fasilitas
rawat inap yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan antara lain:
a.
menyediakan kamar rawat inap yang bersih dan
tidak menempatkan pasien dalam jumlah terlalu banyak dalam satu ruangan; dan
b.
menyediakan pekarangan dan atau tempat
beraktifitas diluar kamar pasien.
(3) Tindak
pelayanan yang manusiawi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
diantaranya:
a. tidak
mengurung/mengunci pasien didalam kamar rawat inap;
b. memberi
kesempatan maksimal kepada pasien untuk beraktifitas di luar ruangan;
c.
tidak mengurung pasien dalam ruang isolasi dalam
jangka waktu lama.
d.
apabila diperlukan tindak pengekangan terhadap
pasien, maka tindakan tersebut harus berdasarkan penilaian dan prosedur yang
jelas dan dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin dan dievaluasi secara
berkala.
e.
pengurungan pasien didalam ruangan isolasi harus
melalui prosedur medis yang jelas dan dalam waktu sesingkat mungkin serta
dievaluasi secara berkala.
f.
segala tindakan terhadap pasien harus dilakukan
dengan cara-cara yang mengormati harkat dan martabat pasien.
Pasal
79
(1) Penyelenggaran pelayanan kesehatan wajib menyediakan layanan
informasi tentang disabilitas.
(2) Layanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
memberikan informasi mengenai rujukan rehabilitasi lanjutan yang tersedia bagi
Penyandang Disabilitas.
Bagian Keenam
Politik
Pasal 80
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin agar Penyandang Disabilitas dapat
berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik
secara langsung atau melalui perwakilan.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang
Disabilitas untuk memilih dan dipilih.
Pasal
81
Penyandang Disabilitas berhak untuk
dipilih sebagai pejabat publik.
Pasal 82
Dalam Pemilihan Umum,
Pemerintah wajib menjamin hak politik Penyandang Disabilitas dengan
memperhatikan keragaman disabilitas, termasuk dalam:
a. berpartisipasi
langsung untuk ikut dalam kegiatan Pemilu;
b. mendapatkan
hak untuk didata sebagai pemilih Pemilu;
c. memastikan
bahwa prosedur, fasilitas, dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat
diakses serta mudah dipahami dan digunakan;
d. melindungi
hak Penyandang Disabilitas untuk memilih secara rahasia tanpa intimidasi;
e. melindungi
hak Penyandang Disabilitas untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, untuk
memegang jabatan serta melaksanakan seluruh fungsi publik dalam semua tingkat
pemerintahan;
f. menjamin
Penyandang Disabilitas dapat memanfaatkan penggunaan teknologi baru yang dapat
membantu pelaksanaan tugas;
g. menjamin
kebebasan Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan pendampingan sesuai dengan
pilihannya sendiri;
h. mendapatkan
informasi dan sosialisasi dalam setiap tahapan Pemilu;
i. mendapatkan
simulasi dan terlibat dalam setiap tahapan Pemilu; dan
j. menjamin
terpenuhinya hak untuk terlibat sebagai penyelenggara Pemilu.
Bagian Ketujuh
Keagamaan
Pasal 83
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib melindungi Penyandang Disabilitas dari tekanan
pihak manapun untuk menganut dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing–masing.
Pasal 84
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengembangan, bimbingan dan penyuluhan
agama terhadap penyandang
disabilitas dan kelompok agama.
Pasal 85
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib melakukan upaya untuk menghapuskan stigma negatif terhadap Penyandang Disabilitas.
(2) Upaya menghapus
stigma negatif sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah antara
lain melalui:
a. pembinaan
terhadap penceramah, pendakwah, pemuka agama untuk mengangkat harkat dan
martabat Penyandang
Disabilitas;
b. penyediaan
media
informasi keagamaan; dan
c. memfasilitasi
forum-forum
ibadah yang sensitif Penyandang
Disabilitas.
Pasal 86
(1) Pemerintah wajib
menjamin hak penyandang disabilitas untuk menjalankan kewajiban ibadah tanpa
diskriminasi.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan sarana
dan prasarana yang aksesibel
bagi penyandang disabilitas yang
menjalankan kewajiban ibadah.
(3) Pemerintah wajib menyediakan
quota pemberangkatan Haji bagi penyandang disabilitas.
(4) Quota sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (3) diberikan paling sedikit 1:1000 (satu banding seribu) pada
setiap tahun pemberangkatan.
Pasal 87
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan kitab suci dan buku agama yang dibuat
dengan format yang aksesibel berdasarkan kebutuhan penyandang disabilitas.
Pasal 88
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah mengupayakan ketersediaan penerjemah Bisindo dalam
kegiatan peribadatan.
Bagian Kedelapan
Keolahragaan
Pasal
89
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan
sistem keolahragaan bagi Penyandang Disabilitas yang meliputi:
a. keolahragaan pendidikan;
b. keolahragaan
rekreasi; dan
c. keolahragaan prestasi.
Pasal 90
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan
sistem keolahragaan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas yang dilaksanakan untuk membangun kepercayaan
diri dan kesimbangan fisik sejak dini dan memberikan pengetahuan ketrampilan
berbagai jenis olahraga, serta menyediakan dan/atau membangun fasilitas olahraga yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
Pasal
91
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib mengembangkan keolahragaan rekreasi bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menyediakan fasilitas keolahragaan rekreasi bagi Penyandang
Disabilitas yang bertujuan:
a.
membangun
kesehatan fisik;
b.
membangun
hubungan sosial kemasyarakatan; dan
c.
melestarikan
dan meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional.
Pasal
92
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib mengembangkan keolahragaan prestasi bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menyediakan fasilitas keolahragaan prestasi yang bertujuan untuk
meningkatkan keikutsertaan diberbagai kompetisi dan prestasi dibidang olahraga baik ditingkat
nasional maupun international.
Pasal 93
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib membangun sistem pembinaan olahraga prestasi yang profesional bagi
Penyandang Disabilitas.
(2) Dalam membangun sistem
pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelatih yang profesional; dan
b. penyelenggaraan kompetisi
secara teratur di berbagai tingkatan secara berkala.
(3) Dalam membangun sistem
pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) Pemerintah wajib
melibatkan:
a) organisasi keolahragaan
disabilitas dari berbagai keragaman disabilitas;
b) akademisi bidang keolahragaan untuk
mengembangkan metode dan teknik olahraga bagi penyandang disabilitas termasuk
cara melatih dan bermain yang sesuai dengan keragaman disabilitas; dan
c) sektor usaha untuk pendanaan.
(4) Pemerintah menetapkan
standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi penyelenggaraan pelatihan dan
kompetisi olahraga.
Pasal
94
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib memberikan penghargaan yang sama antara olahragawan Penyandang
Disabilitas dan olahragawan yang bukan Penyandang Disabilitas.
(2) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam memberikan penghargaan prestasi olahraga kepada olahragawan
Penyandang Disabilitas dapat berupa beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan
pangkat luar biasa, jaminan hari tua, dan/atau bentuk penghargaan lain.
Pasal
95
(3) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib mengembangkan keolahragaan rekreasi bagi Penyandang Disabilitas.
(4) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menyediakan fasilitas keolahragaan rekreasi yang aksesibel bagi
Penyandang Disabilitas yang bertujuan:
d.
membangun
kesehatan fisik;
e.
membangun
hubungan sosial kemasyarakatan; dan
f.
melestarikan
dan meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional.
Bagian Kesembilan
Pariwisata dan Hiburan
Pasal 96
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas
untuk mendapatkan layanan pariwisata dan hiburan.
(2) Layanan
pariwisata yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. tersedianya
informasi pariwisata dalam bentuk audio, visual, dan taktual; dan
b. tersedianya
pemandu wisata yang memiliki
kemampuan untuk mendeskripsikan obyek wisata bagi wisatawan
disabilitas netra, memandu wisatawan disabilitas rungu dengan bahasa isyarat,
dan memiliki keterampilan memberikan bantuan mobilitas.
Pasal 97
Hiburan yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas meliputi
antara lain:
a. tersedianya
pemandu narasi dan pemandu bahasa isyarat; dan
b. tersedianya
narasi tambahan pada hiburan dalam bentuk audio visual.
Pasal
98
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
insentif kepada penyelenggara perjalanan pariwisata yang menyelenggarakan paket
perjalanan pariwisata yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2)
Insentif yang diberikan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
kepada penyelenggara pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
keringanan pajak.
Bagian Kesepuluh
Kesejahteraan Sosial
Pasal 99
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap
pelayanan air bersih.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib untuk menjamin akses terhadap fasilitas sanitasi
yang layak.
(3) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap
program perlindungan sosial dan program pengentasan kemiskinan.
(4) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses terhadap pelayanan, alat bantu,
dan bantuan lain terkait disabilitas yang layak dan terjangkau
Pasal 100
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi Penyandang Disabilitas dan
keluarganya yang hidup dalam kemiskinan untuk mendapatkan bantuan khusus yang
ditimbulkan akibat kondisi disabilitas yang dialami.
(2) Bantuan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pelatihan, konseling,
perawatan sementara, atau bantuan lain yang berkaitan.
(3) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib membiayai penuh pelaksanaan bantuan khusus.
(4) Dalam
pelaksanaan pelatihan dan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah dapat melibatkan masyarakat dan tenaga profesional.
Pasal 101
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib
memberikan jaminan sosial bagi penyandang disabilitas miskin atau Penyandang Disabilitas
yang tidak memiliki penghasilan.
(2) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa uang tunai yang besarannya ditentukan oleh kementerian
yang membidangi urusan sosial.
(3) Pemerintah
wajib memberikan prioritas kepada Penyandang Disabilitas dalam program bantuan
sosial.
(4) Bantuan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat berupa
beras miskin, sembako, program bedah rumah, program
bantuan langsung tunai atau bentuk lainnya.
(5) Pemerintah dan pemerintah
Daerah wajib menyediakan tempat tinggal bagi Penyandang Disabilitas terlantar
dalam bentuk layanan rehabilitasi residensial.
Pasal
102
(1) Pemerintah Daerah wajib
membentuk pusat pelayanan Penyandang Disabilitas untuk menyediakan fasilitas
yang meliputi:
a. alat bantu kemandirian sesuai
dengan kebutuhan Penyandang Disabilitas;
b. informasi dan rujukan yang
berkaitan dengan pelayanan Penyandang Disabilitas; dan
c. penerjemah bahasa isyarat dan
pendamping untuk kebutuhan Penyandang Disabilitas.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk tentang fasilitas layanan yang tersedia di wilayahnya,
yang meliputi:
a. pekerjaan;
b. tempat rehabilitasi;
c. pendidikan;
d. kesehatan;
e. organisasi Penyandang Disabilitas;
f. bantuan hukum;
g. olahraga;
h. pariwisata; dan
i. bidang lainnya yang berkaitan
dengan kebutuhan Penyandang Disabilitas.
Bagian Kesebelas
Infrastruktur
Pasal 103
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin infrastruktur yang aksesibel bagi
Penyandang Disabilitas.
(2) Infrastruktur
yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain:
a. bangunan
gedung;
b. jalan;
c. pemukiman;
dan
d. pertamanan
dan pemakaman.
Paragraf 1
Bangunan Gedung
Pasal 104
(1) Bangunan
gedung yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam
pasal 95 ayat (2) huruf a memiliki fungsi antara lain:
a. hunian;
b. keagamaan;
c. usaha;
d. sosial,
budaya, dan olahraga; dan
e. khusus.
(2) Bangunan
gedung hunian yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara
lain:
a. rumah
tinggal tunggal;
b. rumah
tinggal deret;
c. rumah
tinggal susun; dan
d. rumah
tinggal sementara.
(3) Bangunan
gedung keagamaan yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
antara lain:
a. masjid
termasuk mushola;
b. gereja
termasuk kapel;
c. pura;
d. vihara;
e. klenteng;
dan
f. bangunan
lain yang digunakan untuk ibadah.
(4) Bangunan
gedung usaha yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c antara
lain:
a. bangunan
gedung perkantoran;
b. bangunan
gedung perdagangan;
c. bangunan
gedung perindustrian;
d. bangunan
gedung perhotelan;
e. bangunan
gedung wisata dan hiburan;
f. bangunan
gedung terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan; dan
g. bangunan
gedung tempat penyimpanan.
(5) Bangunan
gedung sosial, budaya, dan olahraga yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d antara lain:
a. pelayanan
pendidikan;
b. pelayanan
kesehatan;
c. kebudayaan;
d. laboratorium;
e. rumah
aman;
f. tempat
pengungsian;
g. pelayanan
umum; dan
h. olah
raga.
(6) Bangunan
gedung khusus yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e antara
lain:
a. bangunan
gedung untuk reaktor nuklir; dan
b. instalasi
pertahanan dan keamanan.
Pasal 105
(1)
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib mencantumkan ketersediaan fasilitas aksesibilitas Penyandang
Disabilitas sebagai salah satu syarat dalam permohonan Izin Mendirikan
Bangunan.
(2)
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib melakukan audit terhadap ketersediaan fasilitas
aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas pada setiap bangunan gedung.
(3)
Audit
terhadap ketersediaan fasilitas aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas
merupakan syarat dalam permohonan dan perpanjangan izin penggunaan bangunan.
(4)
Dalam
hal bangunan gedung sudah memenuhi syarat audit sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) maka Pemerintah wajib menerbitkan sertifikat aksesibilitas.
(5)
Pemerintah
wajib menyusun mekanisme audit fasilitas aksesibilitas bagi Penyandang
Disabilitas.
(6)
Audit
fasilitas aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) wajib bekerja sama dengan organisasi Penyandang Disabilitas yang
memiliki keahlian di bidang aksesibilitas bangunan gedung.
Pasal
106
(1) Setiap pengelola bangunan
gedung yang bertingkat wajib menyediakan lift yang aksesibel bagi Penyandang
Disabilitas.
(2) Lift yang aksesibel bagi
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. disediakan dari lantai terendah
sampai lantai tertinggi bangunan gedung;
b. mampu memuat kursi roda;
c. dilengkapi dengan informasi
audio dan visual sebagai petunjuk posisi lift;
d. dilengkapi dengan tanda braille
pada tombol lift;
e. letak tombol dapat dijangkau
oleh pengguna kursi roda;
f. dilengkapi dengan pegangan
rambat yang berada di dua sisi; dan
g. dilengkapi dengan jalur pemandu
dan ubin peringatan di depan lift.
Pasal
107
(1) Pengelola bangunan gedung wajib
menyediakan tangga yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Tangga yang aksesibel bagi
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
a. pegangan rambat yang ukurannya
lebih panjang dari tangga;
b. pagar pengaman yang ukurannya
lebih panjang dari tangga; dan
c. warna dan permukaan yang
berbeda pada ujung tangga.
Pasal
108
(1) Setiap pengelola bangunan
gedung wajib menyediakan parkir khusus bagi kendaraan yang digunakan oleh
Penyandang Disabilitas.
(2) Parkir khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dekat dengan pintu lobi.
(3) Parkir khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dipergunakan oleh kendaraan roda empat, kendaraan
roda dua, dan kendaraan yang digunakan oleh Penyandang Disabilitas.
Pasal
109
(1) Pengelola bangunan gedung wajib
memperbolehkan kendaraan yang membawa penumpang Penyandang Disabilitas untuk
menurunkan penumpangnya di pintu lobi utama.
(2) Kendaraan yang dimaksud pada ayat
(1) adalah kendaraan roda empat, kendaraan roda dua, dan kendaraan yang
digunakan oleh Penyandang Disabilitas.
Pasal
110
(1) Pengelola gedung wajib
menyediakan jalur pemandu dan ubin peringatan.
(2) Pengelola bangunan gedung wajib
menyediakan akses masuk yang cukup untuk dilewati kursi roda.
Pasal
111
(1) Pengelola gedung wajib
menyediakan bidang miring untuk menjangkau permukaan lantai yang lebih tinggi.
(2) Bidang miring yang dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. dibuat dengan derajat
kemiringan 1:8 (satu banding delapan) atau 1:12
(satu banding dua belas);
b. permukaan bidang miring tidak
licin;
c. setiap panjang 6 (enam) meter
pada bidang miring disediakan bordes yang digunakan untuk pemberhentian
sementara;
d. dilengkapi dengan pegangan
rambat; dan
e. lebar minimum 120 (seratus dua
puluh) sentimeter.
Pasal
112
(1) Pengelola bangunan gedung wajib
menyediakan tanda bahaya dalam bentuk isyarat lampu yang dilengkapi isyarat
bunyi.
(2) Pengelola bangunan gedung wajib
menyediakan jalur evakuasi yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(3) Pengelola bangunan gedung wajib
menyediakan simbol taktual di pintu untuk menandakan toilet laki-laki atau
perempuan.
(4) Penempatan simbol taktual
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diletakan maksimal 150 (seratus lima puluh)
sentimeter dari permukaan tanah.
(5) Pengelola bangunan gedung dapat
menyediakan tombol informasi.
(6) Pengelola bangunan gedung wajib
menyediakan peta taktual lokasi bangunan gedungnya.
Pasal
113
(1) Pengelola bangunan gedung wajib
menyediakan toilet yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Toilet yang aksesibel bagi Penyandang
Disabilitas harus memenuhi syarat:
a. mempunyai ruang gerak yang
cukup bagi pengguna kursi roda;
b. menggunakan pintu geser;
c. dilengkapi kloset duduk;
d. dilengkapi dengan tempat cuci
tangan yang rendah; dan
e. dilengkapi dengan pegangan rambat
dekat dengan kloset.
Pasal
114
(1) Pengelola bangunan gedung
stasiun, terminal bus, dan halte bus wajib menyediakan peta jalur kereta atau
bus.
(2) Pengelola bangunan gedung
stasiun wajib membuat peron sejajar dengan lantai kereta api.
(3) Dalam hal peron dan lantai
kereta api tidak sejajar, pengelola bangunan gedung stasiun wajib menyediakan
bidang miring.
(4) Bidang miring yang dimaksud
pada ayat (2) dapat bersifat permanen atau yang dapat dipindahkan.
Pasal
115
(1) Setiap pengelola hotel wajib
menyediakan kamar yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Kamar hotel yang dimaksud dalam
ayat (1) antara lain:
a. ditempatkan di lantai dasar
atau terdekat dengan lift;
b. letak peralatan mandi dapat
dijangkau oleh pengguna kursi roda;
c. perbedaan tinggi permukaan
lantai maksimal 2 (dua) sentimeter; dan
d. bel pintu kamar dilengkapi
dengan tanda isyarat lampu.
Pasal
116
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib memenuhi aksesibilitas di bangunan rumah tinggal tunggal wajib
jika dihuni oleh Penyandang Disabilitas.
(2) Pemerintah wajib memberikan
subsidi untuk penyediaan fasilitas aksesibilitas di bangunan rumah tinggal
tunggal.
Paragraf 2
Jalan
Pasal 117
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menyediakan jalur pejalan kaki yang aksesibel bagi Penyandang
Disabilitas.
(2) Jalur pejalan kaki yang
aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. dilengkapi dengan jalur pemandu
dan ubin peringatan yang diletakan ditengah jalur pejalan kaki;
b. tidak ada penghalang ditengah
jalur pejalan kaki yang menghambat mobilitas Penyandang Disabilitas;
c. permukaan harus stabil, kuat,
tahan cuaca, dan bertekstur halus tetapi tidak licin;
d. setiap potongan jalur pejalan
kaki menggunakan bidang miring yang landai;
e. dilengkapi drainase yang aman;
f. dilengkapi tepi pengaman pada
jalur pejalan kaki; dan
g. dilengkapi pengaman terhadap
lubang besar, selokan, atau tepian lantai yang mencorok.
Pasal 118
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menyediakan tempat penyeberangan yang aksesibel bagi Penyandang
Disabilitas untuk menyeberang jalan.
(2) Tempat penyeberangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. tidak diletakan di tikungan
jalan;
b. dilengkapi dengan tanda isyarat
lampu dan isyarat bunyi;
c. tidak melintasi pembatas jalan
dengan tinggi permukaan yang berbeda; dan
d. apabila ada perbedaan tinggi
permukaan harus dibuat dalam bidang miring yang landai.
Paragraf 3
Pertamanan dan Pemakaman
Pasal 119
(1) Pemerintah menyediakan
fasilitas umum lingkungan dan taman yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Taman yang aksesibel
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan fasilitas jalur pejalan
kaki dan kursi roda.
Paragraf 4
Permukiman
Pasal 120
(1) Permukiman yang dimaksud dalam
bagian ini meliputi wilayah hunian, termasuk fasilitas umum yang ada di
dalamnya.
(2) Permukiman tidak termasuk
bangunan gedung.
Pasal 121
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib memastikan seluruh permukiman yang dibangun oleh pengembang
memiliki aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Pengembang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) termasuk pihak swasta dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Usaha Milik Daerah.
(3) Pemukiman yang aksesibilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merujuk kepada pengaturan dalam
undang-undang ini.
Bagian Kedua Belas
Pelayanan Publik
Pasal 122
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan pelayanan publik yang aksesibel bagi
bahwa Penyandang Disabilitas.
(2) Pelayanan
publik yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau swasta.
(3) Penyediaan
pelayanan publik yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan atas dasar
kesetaraan dalam keberagaman bagi Penyandang Disabilitas dan tanggap terhadap
kebutuhan Penyandang Disabilitas.
Pasal 123
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan dan mensosialisasikan pelayanan
publik yang aksesibel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) kepada
Penyandang Disabilitas dan masyarakat.
(2) Penyelenggara
pelayanan publik wajib mengadakan panduan pelayanan publik yang aksesibel bagi Penyandang
Disabilitas.
(3) Panduan
pelayanan publik yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disosialisasikan kepada petugas penyelenggara
pelayanan publik.
Pasal 124
Penyelenggara pelayanan publik dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang
aksesibel bagi Penyandang Disabilitas wajib menyediakan antara lain:
a. pendampingan,
fasilitasi, dan asistensi;
b. peminjaman
kursi roda;
c. penyediaan
loket khusus bagi penyandang disabilitas yang aksesibel;
d. mendahulukan
penyandang disabilitas dari pengguna layanan lainnya; dan
e. menempatkan
pelayanan publik di lantai dasar atau di tempat lain yang aksesibel.
Pasal 125
Loket yang aksesibel
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 124 huruf c antara lain:
a. tanpa
menggunakan penyekat antara penyedia layanan dan Penyandang Disabilitas yang
mengakses layanan;
b. menggunakan
meja layanan dengan tinggi maksimal 80 (delapan puluh) sentimeter;
c. menyediakan
kursi; dan
d.
informasi pemanggilan antrian disampaikan dalam
bentuk audio dan tulisan.
Pasal 126
(1) Penyelenggara
pelayanan publik yang memanfaatkan teknologi, wajib menyediakan teknologi yang
aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Teknologi
yang aksesibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan fasilitas:
a. audio;
b. tanda
taktual;
c. huruf
braille; dan
d. visual.
Bagian Ketiga Belas
Kebencanaan
Pasal 127
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil
langkah yang diperlukan untuk menjamin penanganan Penyandang Disabilitas dalam
situasi pra bencana, ada potensi bencana, saat tanggap darurat, dan pasca
bencana.
(2)
Penanganan Penyandang Disabilitas yang dimaksud
dalam ayat (1) antara lain:
a. layanan pendidikan;
b. layanan kesehatan;
c. penyediaan data dan
informasi;
d. layanan kelengkapan
administrasi kependudukan sebagai bagian dari hak sipil;
e. kemudahan akses dalam
membangun kemandirian;
f. habilitasi,
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan
g. dukungan terhadap
pertumbuhan dan pengembangan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosial, terutama
bagi Penyandang Disabilitas anak.
(3) Setiap
Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi aktif dalam penanggulangan bencana.
(4) Partisipasi
aktif penyandang disabilitas seperti yang dimaksud dalam ayat (3) sesuai dengan
ragam disabilitas, pendidikan, dan kemampuannya.
Pasal
128
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib memberikan prioritas dalam hal penyelamatan, evakuasi, pengamanan, layanan
kesehatan dan psikologis, layanan pendidikan serta dalam upaya-upaya
pengurangan risiko bencana bagi Penyandang Disabilitas.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
penanganan khusus kepada Penyandang
disabilitas yang termasuk dalam kelompok rentan antara lain:
a. bayi,
balita, dan anak-anak;
b. ibu
hamil atau menyusui;
c. orang
lanjut usia; dan
d. Penyandang
Disabilitas yang mengungsi akibat konflik sosial.
Pasal
129
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib memberikan kemudahan akses untuk mendukung kemandirian dan partisipasi
aktif Penyandang Disabilitas.
(2) Kemudahan
akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi prioritas dalam penyediaan
layanan dan fasilitas yang diberikan pada tahap pra-bencana, saat bencana dan
pasca bencana.
(3) Standar
kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan pengaturan
dalam undang-undang ini.
Paragraf
1
Pra Bencana
Pasal
130
(1) Pemerintah,
Pemerintah
Daerah, dan penyedia layanan
terkait wajib mengidentifikasi, mengumpulkan, menganalisis, mendokumentasikan
dan menyebarluaskan data dan informasi terkait Penyandang Disabilitas.
(2) Pengumpulan
data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan
melibatkan organisasi Penyandang Disabilitas, dan masyarakat.
(3) Data
dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terpilah berdasarkan
jenis kelamin dan kelompok umur dan ragam disabilitas.
(4) Pemerintah
Daerah
wajib melakukan verifikasi dan pengesahan terhadap data dan informasi yang
didapatkan.
(5) Pemerintah
Daerah
wajib mengkoordinasikan pengumpulan dan pemutakhiran data dan informasi
Penyandang Disabilitas yang berkaitan dengan kebencanaan.
Pasal
131
(1) Pemerintah
Daerah
wajib memfasilitasi Penyandang Disabilitas dalam penilaian dan pengkajian
risiko di wilayah setempat.
(2) Pemerintah
Daerah
wajib memberikan data dan informasi yang jelas dan mudah dipahami terkait
ancaman, risiko bencana, cara penanggulangan bencana, serta cara penyelamatan
diri.
Pasal
132
(1) Badan Penanggulangan Bencana Daerah
mendorong layanan pendidikan dan peningkatan kesadaran bencana, baik formal
maupun informal, bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Layanan
pendidikan kebencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa latihan kesiapsiagaan bencana yang meliputi
pelatihan, simulasi,
dan geladi bencana.
(3) Penyediaan
layanan pendidikan kebencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui koordinasi dengan instansi dan pemangku kepentingan terkait.
Pasal
133
(1) Pemerintah
Daerah
wajib memastikan Penyandang Disabilitas mendapat akses terhadap layanan
peringatan dini yang tepat waktu, akurat dan mudah dimengerti.
(2) Akses
yang dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ragam disabilitas seseorang.
(3) Pemerintah
Daerah
wajib memfasilitasi Penyandang Disabilitas untuk memiliki rencana kesiapsiagaan
sendiri di tingkat rumah tangga.
(4) Penyusunan
rencana kontinjensi dan rencana evakuasi oleh Pemerintah Daerah dapat melibatkan
Penyandang Disabilitas dan kelompok yang mendampinginya.
(5) Pemerintah
Daerah
wajib memberikan pelatihan tentang sistem peringatan dini, rencana kontinjensi, dan rencana evakuasi
kepada Penyandang Disabilitas dan masyarakat lainnya.
Paragraf
2
Tanggap
Darurat
Pasal
134
(1) Pemerintah
Daerah
wajib memenuhi kebutuhan dasar pangan dan non-pangan, sandang,
penampungan/hunian sementara, air bersih dan sanitasi serta layanan kesehatan
dan kebutuhan khusus bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Pemenuhan
kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan minimum.
Pasal
135
(1) Pemerintah
atau Pemerintah
Daerah
wajib memberikan Penyandang Disabilitas penampungan dan hunian sementara sesuai
standar pelayanan minimum.
(2) Penampungan
atau hunian yang dimaksud pada ayat (1) harus yang memungkinkan bagi penyandang
disabilitas untuk melakukan kegiatan rumah tangga utama dan kegiatan terkait
mata pencarian.
(3) Pemerintah
atau Pemerintah
Daerah
wajib memberikan Penyandang Disabilitas terdampak bencana pakaian, selimut, dan
peralatan tidur untuk menjamin kenyamanan pribadi, serta terjaganya martabat,
kesehatan,
dan kesejahteraan.
Pasal
136
(1) Pemerintah,
Pemerintah
Daerah, dan penyedia layanan
terkait memberi akses dan bantuan pangan secara tepat waktu dan layak untuk
meminimalkan risiko dan meningkatkan status gizi, kesehatan dan kemampuan
bertahan hidup bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Penyandang
Disabilitas terdampak bencana diberi akses terhadap peralatan memasak,
makan-minum dan menyimpan makanan, yang sesuai dengan budaya setempat.
Pasal
137
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib memenuhi kebutuhan pasokan air bersih dan sanitasi bagi Penyandang
Disabilitas terdampak bencana.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib mengupayakan peningkatan kesadaran Penyandang Disabilitas akan resiko utama dalam
kesehatan masyarakat dan pencegahan turunnya kondisi higienis
dan kesehatan lingkungan.
(3) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib memberikan
prioritas untuk memperoleh akses terhadap jumlah air yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan minum, memasak, kebersihan pribadi, dan rumah tangga yang
mudah dijangkau.
(4) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib menyediakan sarana mandi, cuci dan toilet yang aksesibel.
Pasal
138
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib menyusun rencana penyediaan layanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas
dengan memperhatikan jenis disabilitas.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib memberi akses prioritas kepada penyandang disabilitas terhadap layanan
kesehatan yang tepat, aman, dan bermutu yang terstandardisasi dan mengikuti
ketentuan yang berlaku.
Pasal
139
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib memastikan agar dalam situasi bencana, lingkungan belajar tetap aman,
terlindung, mudah diakses dan memperhatikan peserta didik psikososial, guru, dan tenaga
kependidikan lainnya.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah wajib
memastikan proses belajar-mengajar berpusat pada peserta didik, dan bersifat
partisipatif serta inklusif.
(3) Proses
belajar mengajar yang dimaksud pada ayat (2) harus memperhatikan ragam dan
kegutuhan khusus Penyandang Disabilitas.
Pasal
140
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib memastikan adanya pendampingan psikologis bagi Penyandang Disabilitas saat
terjadi bencana.
(2) Pendampingan
psikososial seperti pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan jenis dan
derajat disabilitas individu Penyandang Disabilitas.
Pasal
141
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib menyediakan alat bantu dan pendampingan khusus bagi Penyandang
Disabilitas sesuai dengan ragam disabilitas.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib memberikan perlindungan khusus bagi Penyandang Disabilitas terdampak
bencana dari kekerasan, paksaan, dorongan untuk bertindak di luar kemauan dan
rasa takut terhadap penganiayaan.
(3) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib memastikan agar harta benda dan aset Penyandang Disabilitas korban
bencana aman dari pencurian dan penguasaan pihak lain.
Pasal 142
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memprioritaskan Penyandang Disabilitas
untuk mendapat tempat di lokasi pengungsian
(2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan
sarana yang aksesibel di lokasi pengungsian
Paragraf
3
Pasca
Bencana
Pasal
143
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib menyelenggarakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana untuk
Penyandang Disabilitas.
(2) Penyelenggaraan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana seperti yang dimaksud pada ayat (1)
harus berorientasi kepada upaya pengurangan risiko bencana dan pemenuhan
kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas.
(3) Pemerintah
Daerah
wajib merencanakan, menyelenggarakan, dan mengawasi serta mengkoordinasikan
seluruh program dan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
bencana yang dilaksanakan oleh semua pihak.
Bagian Keempat Belas
Habilitasi dan Rehabilitasi
Pasal
144
(1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menyediakan layanan habilitasi dan rehabilitasi bagi Penyandang
Disabilitas.
(2) Habilitasi
dan rehabilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) bertujuan:
a. memungkinkan
Penyandang Disabilitas untuk mencapai dan mempertahankan kemandirian, kemampuan
fisik, mental, sosial, dan keterampilan secara maksimal; dan
b. mengembangkan
partisipasi dan inklusi di seluruh aspek kehidupan
(3) Dalam menyediakan layanan
habilitasi dan rehabilitasi bagi
penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan
Pemerintah daerah wajib menerapkan prinsip:
a. mengakui, melindungi, dan
memenuhi hak Penyandang
Disabilitas
sesuai dengan undang-undang ini;
b. penghormatan
penuh terhadap harkat dan martabat kemanusiaan dari penyandang disabilitas;
c. berbasis masyarakat;
d. bukan merupakan tempat
penampungan
e. mengupayakan secara maksimal
untuk Penyandang Disabilitas tetap tinggal dirumah sendiri;
dan
f. dilakukan sejak dini dengan
melibatkan penyandang disabilitas dan keluarga Penyandang Disabilitas.
Pasal
145
Habilitasi dan rehabilitasi berfungsi sebagai:
a.
sarana
pendidikan dan pelatihan ketrampilan hidup;
b.
sarana
antara atau transisi dalam mengatasi kondisi disabilitasnya;
dan
c.
sarana
untuk mempersiapkan Penyandang Disabilitas agar dapat hidup mandiri di
masyarakat.
Pasal
146
(1) Penanganan habilitasi dan
rehabilitasi Penyandang
Disabilitas
dilakukan dalam bentuk antara lain:
a. layanan habilitasi dan rehabilitasi harian;
b. layanan habilitasi dan
rehabilitasi di rumah; dan
c. layanan habilitasi dan
rehabilitasi berasrama.
(2) Layanan
habilitasi dan rehabilitasi harian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf a diberikan
dengan cara Penyandang
Disabilitas
tetap tinggal di rumah masing-masing dan mendatangi langsung pusat layanan
(3) Layanan
habilitasi dan rehabilitasi harian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf b diberikan
dengan cara Penyandang
Disabilitas
tetap tinggal di rumahnya dan petugas pemberi layanan mendatangi langsung
Penyandang Disabilitas di rumahnya.
(4) Layanan
habilitasi
dan rehabilitasi berasrama yang dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
cara Penyandang Disabilitas tinggal di asrama untuk mendapatkan layanan
habilitasi dan rehabilitasi.
(5) Layanan habilitasi
dan rehabilitasi di
rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan kepada Penyandang Disabilitas yang karena kondisi
disabilitasnya tidak memungkinkan melakukan aktivitas di luar rumah.
(6) Habilitasi dan rehabilitasi
berasrama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pemberian
kesempatan pada Penyandang Disabilitas untuk tinggal di
dalamnya selama menjalani proses habilitasi dan rehabilitasi.
Pasal
147
(1) Penyelenggara layanan habilitasi dan
rehabilitasi wajib mendorong Penyandang Disabilitas untuk berinteraksi
dengan masyarakat sekitar.
(2) Penyelenggara layanan habilitasi dan
rehabilitasi wajib memberikan pelatihan dasar yang dibutuhkan bagi Penyandang Disabilitas pengguna layanan.
(3) Penyelenggara layanan habilitasi dan
rehabilitasi wajib memberikan pendidikan dan pelatihan kepada Penyandang Disabilitas bersangkutan dan
keluarganya serta lingkungan sekitar.
(4) Penyelenggara layanan habilitasi dan
rehabilitasi wajib memberikan pelatihan mengenai penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan hak-hak Penyandang
Disabilitas
kepada para pengurus dan pemberi layanan.
(5) Dalam pelaksanaan pendidikan
dan pelatihan ayat (1) dapat melibatkan masyarakat.
(6) Penyelenggara layanan habilitasi dan
rehabilitasi wajib memberikan pengobatan dan perawatan kesehatan yang memadai
kepada Penyandang
Disabilitas
penerima layanan yang memerlukan.
(7) Pengobatan dan perwatan
kesehatan yang dimaksud pada ayat (7) termasuk kesehatan umum dan kesehatan
yang melekat dengan disabilitasnya.
Pasal
148
(1) Penyelenggara layanan
habilitasi dan rehabilitasi wajib mendapatkan izin dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah dalam pembentukan layanan habilitasi dan rehabilitasi.
(2) Ijin dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah diberikan kepada
Penyelenggara Layanan habilitasi dan rehabilitasi apabila memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. lokasi berada di tengah masyarakat;
b. menggunakan asrama dengan
memperhatikan daya tampung;
c. memiliki kerjasama dengan
fasilitas kesehatan;
d. memiliki pengurus yang profesional dengan
mendapatkan pelatihan;
e. mempekerjakan konselor sesama Penyandang Disabilitas;
f. melaksanakan penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini;
g. memiliki standar prosedur operasional layanan habilitasi dan rehabilitasi yang
dalam penyusunannya melibatkan organisasi Penyandang Disabilitas;
dan
h. memiliki mekanisme pengambilan
kebijakan yang melibatkan Penyandang
Disabilitas
penerima layanan.
(3) Lembaga penyelenggara habilitasi
dan rehabilitasi yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
mendapatkan izin dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam kurun waktu
60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak pengajuan izin.
(4) Pemberian dan perpanjangan ijin
diberikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan tersebut
diajukan dan tanpa dikenai biaya.
(5) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib melakukan evaluasi izin yang diberikan dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun sekali.
Pasal
149
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan kinerja lembaga penyedia layanan habilitasi dan
rehabilitasi di wilayah kerja
masing-masing.
(2) Pengawasan yang dimaksud pada
ayat (1) dapat melibatkan masyarakat.
Bagian Kelima Belas
Konsesi
Pasal 150
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib memberikan konsesi bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Konsesi
bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk transportasi massal darat, sungai, laut, dan udara milik pemerintah maupun swasta nasional;
b. paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk
tagihan listrik;
c. paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk
tagihan air;
d. paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk
harga sewa perumahan milik Negara;
e. paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk
berbagai sarana rekreasi dan pariwisata yang dikelola oleh Pemerintah;
f. paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk
biaya perjalanan haji yang dikelola Pemerintah;
g. paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk
pajak kendaraan bermotor;
h. pembebasan biaya parkir di tempat parkir khusus disabilitas;
i. paling
sedikit 50% (lima puluh persen) potongan harga untuk perguruan tinggi;
j. paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk
tempat parkir umum; dan
k. paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) potongan harga untuk pembelian rumah.
Pasal
151
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong pihak swasta untuk memberikan konsesi bagi Penyandang disabilitas, antara lain:
a. potongan
harga pada tempat
wisata, hiburan, dan rekreasi;
b. potongan
harga pada restaurant dan tempat makan lainnya;
c. potongan
harga pada toko dan supermarket;
d. potongan
harga pada hotel dan penginapan; dan
e. dan
berbagai bentuk keringanan lainnya.
Pasal
152
Pemerintah memberikan insentif bagi pihak swasta yang memberikan keringanan bagi penyandang disabilitas berupa keringanan pajak.
Bagian
Keenambelas
Pendataan
dan Kartu Penyandang Disabilitas
Paragraf 1
Pendataan
Pasal 153
(1)
Badan Pusat Statistik wajib
melakukan pendataan terhadap Penyandang Disabilitas melalui sensus nasional.
(2)
Pendataan terhadap Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memperoleh data
akurat tentang jumlah dan gambaran kondisi Penyandang Disabilitas di Indonesia.
(3)
Data akurat tentang jumlah dan
gambaran kondisi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan untuk:
a. mengidentifikasikan serta mengatasi hambatan yang
dihadapi oleh Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan hak Penyandang
Disabilitas; dan
b. membantu perumusan dan implementasi kebijakan
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
Pasal 154
(1)
Badan Pusat Statistik
bertanggungjawab untuk membangun sistem pendataan Penyandang Disabilitas.
(2)
Sistem pendataan Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan ragam
Penyandang Disabilitas.
(3)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai sistem pendataan Penyandang Disabilitas diatur dengan peraturan Badan
Pusat Statistik.
Pasal 155
Badan Pusat Statistik wajib
berkoordinasi dengan KNDI dalam pelaksanaan pendataan Penyandang Disabilitas.
Pasal 156
Pendataan Penyandang Disabilitas dilakukan dengan prinsip:
a.
menjamin kerahasiaan dan
penghormatan atas privasi Penyandang Disabilitas; dan
b.
melindungi hak asasi manusia
dan kebebasan fundamental serta prinsip etika.
Pasal 157
Badan Pusat Statistik bertanggung jawab atas penyebarluasan hasil sensus
Penyandang Disabilitas yang mudah diakses oleh masyarakat.
Pasal 158
Pemerintah wajib menyediakan
anggaran bagi pelaksanaan pendataan Penyandang Disabilitas.
Paragraf 2
Kartu Penyandang Disabilitas
Pasal
159
(1)
Penyandang Disabilitas berhak mendapatkan KPD.
(2)
KPD berfungsi untuk mengakses berbagai pelayanan,
program, serta konsesi yang tersedia bagi Penyandang Disabilitas.
(3)
KPD berlaku seumur hidup.
Pasal 160
(1)
Penyandang Disabilitas mendaftarkan
diri secara aktif ke kantor desa/kelurahan untuk mendapatkan KPD.
(2)
Dalam
hal Penyandang Disabilitas tidak mampu untuk melakukan pendaftaran sendiri
ke kantor desa/kelurahan,
proses pendaftaran dapat dilakukan oleh orang
yang mendapat kuasa.
(3)
Bagi Penyandang Disabilitas yang berusia dibawah 18 tahun, pendaftaran dilakukan oleh orang tua, wali, atau orang yang mendapat
kuasa.
(4)
Pendaftaran KPD
bersifat sukarela.
Pasal
161
(1)
Syarat untuk mendapatkan KPD adalah sebagai berikut:
a.
mengisi formulir pendaftaran KPD;
b.
melampirkan formulir keterangan disabilitas;
dan
c.
melampirkan
KTP dan/atau akta kelahiran.
(2)
Formulir keterangan disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1) huruf b diisi oleh dokter di puskesmas, rumah sakit, atau layanan kesehatan lainnya.
(3)
Dokter dan penyelenggara layanan kesehatan
wajib memenuhi permintaan untuk melakukan penilaian dan mengisi formulir
keterangan disabilitas berdasarkan penilaian tersebut.
(4)
Penyelenggara layanan kesehatan milik pemerintah wajib melayani permintaan penilaian dan pengisian formulir keterangan disabilitas tanpa dipungut biaya.
(5)
Pemerintah wajib menyediakan dan menjamin ketersediaan
formulir pendaftaran KPD dan formulir keterangan disabilitas.
Pasal
162
(1)
Pemerintah wajib melakukan pencatatan terkait setiap
orang yang berhak mendapatkan KPD.
(2)
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara proaktif oleh Pemerintah.
Bagian Ketujuhbelas
Komunikasi
dan Informasi
Paragraf
1
Umum
Pasal 163
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah
wajib menjamin penggunaan hak atas
kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak Penyandang Disabilitas untuk memilih
bentuk komunikasi dalam berekspresi dan berpendapat.
Paragraf
2
Komunikasi
Pasal 164
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib mengakui, menerima, dan memfasilitasi komunikasi
dengan menggunakan cara tertentu, termasuk bahasa isyarat, bahasa isyarat raba, huruf
braille, audio, visual, atau komunikasi augmentatif atas dasar kesetaraan dengan
yang lainnya.
(2) Komunikasi
dengan menggunakan cara
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara, alat,
dan bentuk lainnya yang dapat dijangkau sesuai dengan pilihan Penyandang
Disabilitas dalam interaksi resmi.
Pasal 165
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib mengakui dan memajukan pemakaian bahasa isyarat.
(2) Bahasa
isyarat sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) berupa bahasa
isyarat
Indonesia.
Pasal 166
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam upaya mengakui dan
memajukan Bisindo wajib:
a.
memasukan Bisindo dalam
kurikulum pendidikan nasional indonesia bagi penyandang disabilitas;
b. mengembangkan
kamus Bisindo;
c.
menyediakan versi Bisindo di setiap forum resmi kenegaraan; dan
d. mendorong
penggunaan Bisindo
dalam setiap forum publik.
Pasal 167
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib
membangun sistem sertifikasi bagi penerjemah Bisindo.
(2) Sistem
sertifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup proses seleksi, pelatihan, dan kode etik bagi
penerjemah Bisindo.
(3) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah wajib bekerja sama dengan organisasi disabilitas yang bergerak di bidang pengembangan Bisindo
dalam melaksanakan sistem sertifikasi penerjemah Bisindo.
Paragraf 3
Informasi
Pasal 168
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin akses atas informasi bagi Penyandang
Disabilitas.
(2) Informasi
bagi penyandang disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain
media dalam bentuk Braille, audio, dan visual.
Pasal 169
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan informasi dalam bentuk yang dapat dijangkau dan dipahami sesuai
dengan keragaman disabilitas dan kondisi tempat tinggalnya.
(2) Informasi
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) didapatkan secara tepat waktu dan tanpa biaya tambahan.
Pasal 170
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat
regulasi tentang pelayanan informasi publik melalui internet, media audio visual yang aksesibel bagi Penyandang
Disabilitas.
(2) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melakukan sosialisasi pelayanan informasi publik yang
aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
(3) Pelayanan informasi publik melalui internet yang
aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan standar desain aksesibilitas laman bagi Penyandang Disabilitas.
(4) Pelayanan informasi publik melalui media audio
visual yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan menyediakan antara lain penerjemah Bisindo dan teks
berjalan.
Pasal 171
(1) Dalam upaya
menyediakan akses informasi dalam bentuk media cetak dan audio terhadap Penyandang
Disabilitas, Perpustakaan Nasional wajib:
a. membangun
sistem dalam pengadaan dan distribusi media cetak dengan menggunakan huruf
braille atau audio.
b. mencantumkan
persyaratan kepada penerbit untuk menyerahkan salinan lunak buku yang akan
diterbitkan sebagai syarat
guna mendapatkan nomor identifikasi standar buku nasional.
(2) Perpustakaan Nasional
dapat bekerja sama dengan pihak Pemerintah maupun swasta dalam hal pengadaan
dan distribusi media informasi versi braille, audio, dan visual
Pasal 172
(1) Pemerintah
memberlakukan peraturan pengecualian hak kekayaan intelektual suatu karya yang
dialihbentukan agar dapat diakses oleh Penyandang Disabilitas.
(2) Alih
bentuk yang dimaksud dalam ayat (1) termasuk menjadi bentuk huruf braille,
audio, dan replika.
Pasal 173
(1) Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah wajib melaksanakan penelitian, pengembangan, penyediaan dan penggunaan teknologi
baru yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas secara berkelanjutan.
(2) Penelitian
dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk teknologi
informasi dan komunikasi, peralatan dan teknologi bantu, yang cocok untuk
penyandang disabilitas dengan biaya yang terjangkau.
Bagian Kedelapanbelas
Perempuan
Dan Anak
Pasal
174
(1)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberi perlindungan dan layanan kesehatan reproduksi
sejak dini kepada Penyandang Disabilitas dan keluarga terutama perempuan dan remaja.
(2)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi kesehatan reproduksi bagi Penyandang Disabilitas dan keluarga terutama perempuan dan remaja.
Pasal
175
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melindungi perempuan Penyandang Disabilitas dari
tindakan pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi maupun sterilisasi.
(2)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melindungi perempuan Penyandang Disabilitas dalam
berkeluarga, melahirkan dan mengasuh anak.
Pasal
176
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menyediakan pusat layanan informasi dan tindak cepat
atas korban kekerasan terhadap perempuan Penyandang Disabilitas.
Pasal
177
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan rumah aman
yang aksesibel bagi perempuan Penyandang Disabilitas.
Pasal 178
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
perlindungan khusus terhadap anak dengan disabilitas dari:
a. keterlantaran;
b. tindak
kekerasan baik di dalam maupun di luar rumah;
c. hambatan
untuk mengembangkan diri;
d. hambatan
untuk mendapatkan pendidikan yang layak; dan
e. hambatan
untuk menentukan pilihan terbaik bagi kepentingan terbaik anak.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan kebijakan dan program yang menjamin
anak dengan disabilitas dapat tumbuh dan berkembang dalam asuhan keluarga.
(3)
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menyediakan kebijakan dan program yang inklusif bagi
anak dengan disabilitas.
Bagian Kesembilanbelas
Sosial Dan Budaya
Pasal 179
Pemerintah
wajib melindungi Hak Kekayaan Intelektual Penyandang Disabilitas.
Pasal 180
(1) Pemerintah
wajib mengembangkan potensi dan kemampuan seni Penyandang Disabilitas.
(2) Pengembangan
potensi dan kemampuan seni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memfasilitasi
penyertaan Penyandang Disabilitas dalam pendidikan seni, sanggar seni,
pertunjukan seni, pameran seni, festival seni, dan kegiatan seni lainnya secara
inklusif baik tingkat daerah, nasional, maupun internasional;
b. mengembangkan
sanggar seni khusus Penyandang Disabilitas;
c. menyelenggarakan
dan menyertakan seniman Penyandang Disa;bilitas dalam pertunjukan seni, pameran
seni, festifal seni dan kegiatan seni lainya pada tingkat daerah, nasional,
maupun internasional yang diselenggarakan khusus bagi Penyandang Disabilitas;
dan
d. memberikan
penghargaan yang pantas dan setara dengan seniman lainnya atas karya seni yang
berkualitas yang dihasilkan oleh seniman Penyandang Disabilitas.
Pasal 181
Pemerintah
wajib melindungi dan memajukan budaya masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kesetaraan hak Penyandang Disabilitas.
Pasal 182
Penyandang
Disabilitas berhak untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan atas identitas
budaya dan linguistik mereka yang khusus, termasuk bahasa isyarat dan budaya
tuna rungu.