Senin, 13 April 2015

Deaf Culture - Galuh Sukmara

  The Journey into The Deaf World in Indonesia

Oleh
Galuh Sukmara Ray
[Master of Sign Linguistics-La Trobe University, Melbourne]
sukmaray@gmail.com

Melarang seorang anak Tuli untuk tidak menggunakan bahasa isyarat dalam kehidupan sehari-harinya,
diibaratkan merampas tongkatnya orang Buta, mengambil paksa kursi roda dari penggunanya.
Pelarangan penggunaan bahasa isyarat sama saja dengan ‘merampas’ hak setiap individu Tuli dalam mengakses informasi dan  pengetahuan dengan bahasa ibunya”[Vernon,1989]


Pengantar tentang Ketulian (Deafness)
Terdapat dua sudut pandang yang berbeda mengenai ketulian,yaitu; sudut pandang klinis atau patologis melihat ketulian sebagai suatu penyakit atau kecacatan yang harus disembuhkan atau dicegah. Ahli dari sudut pandang klinis ini bertujuan untuk sebisa mungkin membuat seorang Tuli berfungsi sebagaimana orang normal pada umumnya. Hal yang terpenting adalah dunia ini adalah “dunia mendengar” dan seluruh individu harus hidup di dalamnya dan berkompetisi untuk memperoleh status di dunia ini.
Lain halnya dengan pendapat para ahli dari sudut pandang budaya yang melihat ketulian dari segi sosio-budaya. Dalam pandangan ini, ketulian bukan kecacatan atau seharusnya tidak dipandang sebagai suatu kecacatan. Mereka berpendapat bahwa mendeskripsikan individu tuli berdasarkan status pendengarannya adalah tidak tepat dan tidak natural. Individu tuli tidak cacat, hanya berbeda. Hal ini diperkuat oleh Padden & Humphries (1988) yang menyatakan bahwa ketulian bukan hanya karena kondisi kerusakan pada pendengarannya, tetapi suatu kondisi yang sosiokultural;yaitu sebagai suatu identitas. Identitas bagi mereka sebagai orang tuli yang kaya dengan nilai, bahasa, gaya hidup merupakan kultur yang mereka banggakan.
Para ahli sosio-budaya berpendapat bahwa pandangan para ahli klinis merefleksikan paham paternalistik para ahli yang berpendengar normal serta cenderung bersifat menghakimi daripada mempertimbangkan karakteristik individu Tuli yang sebenarnya. Salah satu permasalahan utama adalah bias bahasa, para ahli klinis tidak mempertimbangkan bahasa individu Tuli, atau dalam banyak kasus, individu Tuli dianggap tidak memiliki bahasa.  Dalam pandangan sosio-kultur, komunitas Tuli tidak mau menggunakan istilah ‘tunarungu’ sama artinya dengan ‘hearing impairment’, yang artinya sesuatu yang kurang, sesuatu yang rusak, sedangkan mereka tidak merasa dirinya kurang atau rusak, hanya mereka ‘Tuli’ bukan berarti tidak mampu melakukan apapun.
Situasi Pendidikan Tuli di Indonesia
            Menjadi penyandang cacat seperti buta, tuli, pincang, retardasi mental                           di Indonesia dianggap sebuah tragedi. Mereka dianggap 'abnormal' dan 'sakit' sehingga dibuat suatu program untuk menormalisasikan penyandang cacat yang disebut program rehabilitasi. Karenanya tidak aneh jika kehidupan mereka tersegregasi di lokasi-lokasi rehabilitasi seperti sekolah luar biasa, pusat rehabilitasi medis, rumah sakit dan rehabilitasi pelatihan. Apalagi di lokasi rehabilitasi tidak jarang disediakan pula asrama. Negara ini mendukung kehidupan penyandang cacat yang tersegregasi di lingkungan 'abnormal', sehingga masyarakat semakin percaya bahwa menjadi penyandang cacat maupun orang tuli sangat memalukan. Tidak sedikit para orang tua yang menyembunyikan anaknya yang cacat, atau keluarga yang malu karena ada anggota keluarganya yang cacat.
Menurut Mairian Corker (1999)  menambahkan bahwa banyak lagi mitos-mitos lainnya, pada dasarnya mereka tidak pernah dianggap sebagai orang 'normal'. Bagi penyandang cacat hanya tersedia dua pilihan. Pertama, jika tidak 'berhasil' dianggap wajar karena tidak 'normal'. Atau yang kedua, jika 'berhasil' dianggap wajar pula karena ketidak normalan mereka dianggap akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa (di luar kenormalan). Hanya satu hal yang tidak dianggap wajar yaitu jika masyarakat menganggap mereka sama seperti dirinya. Kehidupan mereka sangat tidak produktif dan cenderung menjadi pemalas.  Lihat saja saat mereka mencoba masuk pendidikan 'normal'. Banyak kasus penolakan penyandang cacat di beberapa perguruan tinggi dengan alasan yang hampir sama. Jika bukan karena tidak sehat jasmani dan rohani, mereka akan mengatakan infrastruktur mereka tidak siap. Dunia mereka begitu asing dan gelap. Dunia yang sangat ditakuti orang-orang 'normal'. Karena masyarakat menciptakan prasangka-prasangka yang negatif yang ditujukan pada pihak penyandang cacat.
Tragedi itu bertambah karena  orang 'normal' hanya mengenal mereka sebagai orang-orang yang harus dikasihani dan disantuni. Kecacatan dalam persepsi masyarakat ini adalah sebuah tragedi. Penyandang cacat dipandang tidak berbeda dengan orang yang terkena musibah. Seperti sebuah kisah, yang dialami oleh seorang tuli, ketuliannya bagi orang-orang tidak cacat bukan hanya berarti “tidak mendengar” tapi juga “kehilangan pendengaran”, yang membuatnya dikasihani, diberi derma, diperlakukan sebagai obyek yang tak berdaya dan rendah kemampuan. Tanpa disadari sikap tersebut menunjukkan sebuah hubungan yang tak sejajar, yang memisahkan dua dunia antara orang-orang yang merasa  beruntung “bertubuh normal” dengan orang-orang yang dianggap tidak beruntung karena “bertubuh tidak normal” (Dzulbahaihaqi , 2005)

          Di Indonesia,tidak banyak pakar pendidikan yang menyadari bahwa seorang anak Tuli adalah sosok anak yang bilingual yang menggunakan dua bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa isyarat Indonesia. Kebanyakan dari murid-murid Tuli menggunakan bahasa isyarat Indonesia sebagai bahasa pertama mereka, oleh karenanya mereka harus memiliki akses dalam proses belajar melalui bahasa isyarat tersebut.

            Banyak guru-guru di SLB B ( Sekolah Luar Biasa untuk B-Tuli/Tuna Rungu)              di dalam menggunakan metode komunikasinya ketika mengajar di kelas cenderung menolak untuk tidak menggunakan bahasa isyarat di kelas.Alasannya bisa ditebak yaitu mereka lebih percaya bahwa sign language tidak memberikan peningkatan yang berarti dalam perkembangan kemampuan literasi anak Tuli, dan mereka lebih percaya bahwa bahasa isyarat alami yang digunakan oleh anak-anak Tuli bukanlah sebuah bahasa yang benar, oleh karenanya mereka mencoba untuk mengajarinya ’bahasa yang benar’ menurut pandangan mereka adalah bahasa Indonesia secara oral.

            Banyak sekolah di Indonesia mengajarkan anak-anak Tuli seperti mereka mengajar anak-anak yang bisa mendengar, dan mengabaikan fakta bahwa mereka memiliki kebutuhan metode pendidikan yang berbeda. Ketika seorang anak normal mendapatkan kesempatan untuk pergi ke sekolah, seorang anak Tuli seringkali tidak mendapatkan dukungan serupa. Tidak ada bahan-bahan ajar yang sesuai untuk kaum Tuli, dan tidak ada pula kesadaran dari guru, orangtua, dan masyarakat.
Seorang guru (baik berlatar belakang Pendidikan Luar Biasa, atau bukan) seharusnya memiliki metode tersendiri dalam mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, atau minimal memahami bahwa perbedaan mereka membutuhkan perlakuan yang sedikit berbeda. Ironisnya, pendidikan untuk Tuli di SLB sekarang inipun penuh dengan paksaan-paksaan pada anak Tuli untuk bisa berbahasa sebagaimana layaknya orang-orang normal. Mereka dipaksa untuk bisa berbahasa Oral, bahkan anak-anak yang ekspresif dengan isyaratnya mereka cap bodoh, tolol, atau terbelakang. Suatu hal yang benar-benar jauh dari idealisme seorang guru sebagai individu yang digugu dan ditiru.
Sebagai anggota masyarakat yang hidup di luar kurva normal, anak-anak Tuli (dan anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya) seringkali disisihkan dalam masyarakat, bahkan oleh orang tua sendiri. Kaum Tuli, seringkali ditolak untuk mendapatkan pendidikan umum, dengan alasan infrastruktur yang belum siap. Hal ini mencerminkan penolakan terhadap mereka oleh sebagian anggota masyarakat. Ironisnya, banyak dari pelaku ini adalah mereka yang berpendidikan tinggi, dan mengaku guru.
Mungkin sikap ini merupakan hasil propaganda dokter-dokter (yang mendiagnosis Hearing Impairment seorang pasien) yang belum mengerti hakikat Tuli atau pemerintah sendiri yang menganggap bahwa kecatatan merupakan suatu abnormalitas yang tersegregasi di lingkungan tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepertinya belum siap untuk menerima perbedaan dan mengakomodasinya. Akibatnya, sebagian anggota masyarakat ini menutup pintu bagi orang-orang dengan kemampuan yang berbeda untuk bisa ikut aktif berpartisipasi dalam masyarakat, dengan pandangan penuh rasa kasihan, diskriminasi.
Hal menyedihkan lainnya yang terjadi di Indonesia terhadap mereka kaum Difabel, khususnya Tuli adalah kekerasan. Entah itu dipukul, dilarang berkomunikasi secara alami, sampai diberi stigma-stigma yang melukai mereka secara psikologis seperti dihina, dan dicap bodoh. Dan yang menggugah emosi, kekerasan ini justru terjadi di rumah dan sekolah-sekolah (SLB), di mana seharusnya mereka dididik. Ketika mereka tidak bisa memahami sesuatu atau menyampaikan sesuatu atau memakai Isyarat penuh ekspresi, tidak jarang benda-benda melayang ke tangan atau mulut mereka. Mereka ditekan, diintimidasi, sehingga sadar tidak sadar guru-guru ini justru menghancurkan dan mengubur pribadi si anak sebagai seorang manusia yang memiliki perbedaan yang unik.     Menurut laporan dari WFD (World Federation for the Deaf) terdapat 70 juta komunitas Tuli di seluruh dunia, dimana 0.5% dari mereka yang berusia 10-17 tahun justru memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah dibandingkan anak yang mendengar normal usia 9-10 tahun. Hal ini juga terjadi di Indonesia, rata-rata anak-anak Tuli sampai dewasa Tuli memiliki kemampuan  baca-tulis yang rendah dibawa rata-rata anak yang mendengar normal usia 9-10 tahun. Mereka yang lulus dari SLB B maupun lulus SMA umum ,dan sebagian kecil yang sempat menuntut pendidikan tinggi di Universitas pun mengalami kesulitan dalam memahami bacaan dan tulisan dalam bahasa Indonesia.
            Ada beberapa kasus yang sangat memprihatinkan sekali mengenai kondisi kemampuan pemahaman bahasa Indonesia bagi remaja dan dewasa Tuli lulusan SLB, adalah sebagai berikut:
Figure 1: Tulisan Dhedos, usia 20 tahun

”koksa,...masih dari temannya Deaf iri kasar liet bagus saya gaul cakep maniz mugkin cewek-cewek banyak suka ama tapi sebab cakep kok aduh pusing masalahku banget hati piye...aku tau dah sedih ucek gak papa mungkin boleh cowok2 temannya banyak lagi berantam ama aku bancur terima gak pa pa nggaknya kalau jawabnya bisa Allah dosa sama Deaf ya???makasih...”

Figure 2: Tulisan Kiky, 24 tahun
“Saya kopi hitam minum tidak bisa saya, karena rasa suka tidak dan gelas kopi hitam meja taruh di atas”
Figure 3: Tulisan Ibra, 18 tahun
Met bintang bwt slm suruh kita semua Indonesia krn da janji bnr2 sdr akan baik Hpdku Nrml or Turarungu jgn mslh hormat yg sprti kulit banget jauh Gpp xe.. Sy mw sprti mgkn bs klo cnth akan kita semua yg soal'ny mslh atas liat bs do'a sdr km bnr t4 bila ntr hati2 dulu..
            Melihat susunan kalimat di atas tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak memahami tata bahasa Indonesia yang benar dan baik,meskipun mereka dididik di SLB terbaik dengan metode oral dan total communication, tetap tidak memberikan hasil yang berarti. Sangat memprihatinkan sekali! Sepanjang hari mereka di kelas diwajibkan membaca gerak bibir guru, mengucapkan kata-kata yang tidak bisa mereka dengar, sungguh sangat melelahkan jika waktunya hanya dihabiskan untuk mengulang-ngulang melafalkan kosakata dengan benar. Sedangkan anak-anak yang mendengar disekolah umum sudah mempelajari materi pelajaran lebih jauh lagi. Situasi anak-anak Tuli yang berada di SLB yang menggunakan metode murni oral dan total communication, sebagai bentuk pengekangan akan hak mereka untuk menggunakan/menikmati bahasa ibunya tanpa rasa takut, dapat diilustrasikan sebagai berikut;











Hak Asasi Komunitas Tuli
            Menurut riset yang dilakukan oleh WFD telah dikemukakan bahwa 80% dari 70 juta penduduk Tuli diseluruh dunia tidak mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Artinya 1-2% saja yang dapat menikmati haknya dalam pendidikan dengan menggunakan bahasa isyarat. Terutama bagi komunitas wanita Tuli yang sangat lemah dan kurang beruntung selalu tersingkirkan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karenanya, WFD tetap mengupayakan agar setiap individu Tuli dapat terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas tanpa pandang bulu.
Bagaimana kIta dapat memahami hak-hak setiap anak Tuli? Ada empat faktor dasar yang sangat penting terhadap perlindungan akan hak asasi setiap anak Tuli adalah:
1.      Pengakuan dan penggunaan bahasa isyarat, termasuk pengakuan untuk menghormati dan menghargai kultur dan identitas Tuli. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa komunitas Tuli adalah sebuah kelompok minoritas linguistik               (a linguistics minority group), yaitu bahasa isyarat memiliki kelengkapan grammar structure dan sign linguistics yang sejajar dengan bahasa lisan lainnya.
2.      Sistem pendidikan Bilingual bagi individu Tuli yaitu penggunaan bahasa isyarat dan bahasa nasional. Pendidikan bilingual dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi anak-anak Tuli yang memiliki kemampuan baca-tulis dibawah rata-rata atau rendah.
3.      Aksesibilitas dalam segala aspek kehidupan dan informasi.
4.      Penterjemah bahasa isyarat (sign language interpreters) dalam setiap even.

Bagaimanakah seharusnya pendidikan Inklusi bagi Komunitas Deaf di Indonesia?
...Satu Nusa, Satu Bangsa, Dua Bahasa Kita...
Sepenggal kalimat di atas (yang merupakan potongan sebuah lagu kebangsaan) menunjukkan tentang kondisi kaum Tuli di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Mereka bisa berasal dari semua negara, mereka merupakan anggota sebuah bangsa, tapi yang unik, mereka merupakan kaum bilingual (dua bahasa). Bahasa alami (dan mungkin juga bahasa pengantar pendidikan) mereka adalah bahasa Isyarat, tapi di masyarakat mereka juga harus mampu memakai bahasa lokal, bahasa setempat. Maksud dari bahasa lokal di sini bukan semata-mata mereka berkomunikasi secara oral dengan bahasa lokal. Bisa jadi mereka memang sama sekali tidak berkomunikasi secara oral, tapi tetap menulis dan membaca tulisan-tulisan yang sesuai dengan konteks lokal daerah asal masing-masing Tuli.
Namun yang amat disayangkan, metode pendidikan untuk Tuli di Indonesia sampai sekarang belum ada yang memuaskan. Memang, bahasa Isyarat di Indonesia telah distandarkan (SIBI) sesuai dengan tata bahasa, sintaksis, dan morfologi kata, sehingga untuk hampir semua kata dasar memiliki Isyaratnya, dan untuk menambah kosakata, Isyarat dalam SIBI ini dilengkapi pula dengan Isyarat yang mewakili imbuhan.
Bahasa Isyarat semacam ini cukup sulit dipelajari menurut perspektif Tuli. Karena bahasanya tidak mengikuti logika berbahasa mereka, dan menghambat kekayaan berbahasa mereka. Tidak semua orang-orang tuli setuju dengan Kamus SIBI, atau dengan kata lain, Kamus SIBI bukan representasi bahasa isyarat orang-orang Tuli Indonesia.  Kalau anda belajar SIBI mati-matian, lalu setelah itu anda merasa akan bisa berkomunikasi dengan mereka, anda salah. Anda akan menemukan bahasa isyarat yang berbeda dengan SIBI. Dari satu daerah ke daerah lain, anda akan menemukan keberagaman bahasa isyarat. Antar SLB B pun, anda bisa menemukan bahasa isyarat yang beda pula. Lalu, sebagai orang hearing, anda pun "marah", bingung, mengapa tidak ada bahasa isyarat baku? Tapi, anda mungkin lupa, bahwa orang-orang tuli sudah sekian lama (di)bungkam. Selama ini kita hanya mendengar "lembaga resmi", sehingga kita tidak pernah tahu gejolak yang terjadi.
Berikut adalah contoh isyarat dalam SIBI, yaitu bahasa Indonesia secara lisan yang diisyaratkan bersamaan dan mengaburkan makna bagi kaum Tuli, misalnya;
1.      Isyarat dalam SIBI menggunakan 2-4 isyarat untuk satu kata, misalnya ‘keberangkatan’ – yang akan di isyaratkan satu per satu yaitu                              KE-BER-ANGKAT-AN, atau PERJALANAN yang akan diisyaratkan                 Per-jalan-an, bahkan mengaburkan makna dengan 1 isyarat ‘jalan’ dalam SIBI untuk kata berjalan, jalan solo, jalan kaki, perjalanan, jalan-jalan.
2.      Susunan kalimat dalam isyarat SIBI menggunakan tata bahasa Indonesia seperti S-P-0 atau S-P-O-K yang sangat berbeda dengan tata bahasa bahasa isyarat alami dari komunitas Tuli
3.      Isyarat SIBI untuk kata ‘ARANG’ dengan gerakan tangan seperti sedang membakar atau mengipasi arang untuk membuat sate, tetapi jika sedang ingin mengisyaratkan ‘mengarang’ yang artinya menulis karangan tetapi menggunakan isyarat dasar ‘arang’ untuk sate digunakan untuk isyarat mengarang –kadang hal ini tidak logis.

Sedangkan tata bahasa isyarat yang digunakan oleh komunitas Tuli sendiri adalah sebagai berikut;
1.      Contoh penggunaan isyarat dalam tata bahasa isyarat di Amerika (American Sign Language) adalah sebagai berikut:
Sumber : A Basic Course in American Sign Language, T.J Publisher




Struktur tata bahasa isyarat di atas adalah sebagai berikut;
·         Kalimat bahasa isyarat Amerika                     : I EAT WILL I
·         Kalimat bahasa Inggris (diterjemahkan)         : I WILL EAT
Hal ini juga terjadi di Indonesia, yaitu penggunaan bahasa isyarat Indonesia oleh komunitas Tuli selalu S-O-P bukannya S-P-O:
            Kalimat bahasa Indonesia : Saya tidak suka minum kopi
            Kalimat bahasa Isyarat:      Kopi-minum-saya-tidak suka
Seorang anak Tuli yang sejak lahir menggunakan tata bahasa isyarat Indonesia, akan mengalami kesulitan ketika menuliskan apa yang ia isyaratkan ke dalam tata bahasa Indonesia yang benar. Hal ini membuktikan bahwa seorang anak Tuli adalah seorang anak bilingual, hal ini sesuai dengan pernyataan;
Every Deaf child, whatever the level of his/her hearing loss, should have the rights to grow up bilingual. By knowing and using both a sign language and an oral language (in its writen, when possible, in its spoken modality), the child will attain his/her full cognitive, linguistic and social capabilities (Grosjean,1982)
Kesimpulan yang dapat kita tarik adalah bahwa pendidikan Inklusif yang tepat untuk komunitas Tuli adalah:
1.      Pihak sekolah atau universitas mampu memberi ruang perbedaan kepada mereka untuk menggunakan hak-haknya adalah sebuah langkah terbaik untuk menjadikan kehidupannya ‘normal’ tanpa ‘menormalkan’ apa yang sudah diberikan oleh Tuhan.
2.      Menciptakan suasana yang bilingual di kelas, dimana bahasa pengantar pendidikannya adalah bahasa isyarat sebagai bahasa ibu mereka untuk memahami materi-materi di kelas, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua yang bisa ditekankan pada kemampuan menulis dan membaca-jika ada yang memiliki sisa pendengaran kemampuan berbahasa Indonesia bisa dengan oral,tetapi tetap tidak menghilangkan hak mereka, yaitu mengakses dg bahasa isyarat.
3.      Penyediaan penterjemah bahasa isyarat dari pihak sekolah atau universitas sebagai salah satu upaya memberikan layanan bagi mereka di kelas. Seorang penterjemah isyarat harus memiliki kode etik tertentu untuk menjaga privasi klien-nya atau menjamin informasi dapat tersampaikan dengan baik. Penterjemah yang mengurangi informasi atau menambah informasi, sesungguhnya telah merampas hak individu Tuli untuk mendapatkan informasi yang jujur dan akurat.Penterjemah bahasa isyarat harus diseleksi beberapa tahapan, bukan hanya bisa menggerakan tangan saja. Selain itu pihak Universitas atau sekolah juga menyediakan notetaker yang bekerja untuk mencatat apa yang dibicarakan oleh dosen atau guru atau dibahas oleh teman-teman di kelas sehingga tidak menganggu konsentrasi si murid atau mahasiswa Tuli dalam memperhatikan penterjemah bahasa isyarat.
4.      Adanya language support bagi mereka yang membutuhkan bantuan dalam memahami atau menulis artikel,tugas, makalah. Hal ini untuk membantu mereka memiliki pemahaman yang maksimal terhadap materi yang disampaikan di kelas.
5.      Setting kelas diatur seefektif mungkin untuk menghindari gangguan-gangguan yang tidak diiinginkan, misalnya;tempat duduk diatur membentuk U supaya si murid atau mahasiswa Tuli bisa melihat gerak bibir teman-teman lain disamping memperhatikan penterjemah bahasa isyarat. Dosen atau guru jangan membelakangi jendela karena cahaya dari jendela dapat membuat wajah guru atau dosen menjadi gelap sehingga tidak dapat ditangkap gerak bibirnya.
6.      Kelas hendaknya dibatasi jumlahnya sehingga tidak terlalu memberikan banyak gangguan yang dapat memecahkan konsentrasi.
7.      Bagi siswa atau mahasiswa Tuli yang menggunakan oral, bisa dengan pendamping yang akan ‘mengucapkan kembali’ apa yang dibicarakan dosen atau guru dengan gerak bibir yang jelas secara face-to-face. Ruangan hendaknya diruang yang tenang dan tidak bising dan terang, karena komunitas Tuli akan menggunakan matanya untuk membaca gerak bibir setiap orang dan itu sangat melelahkan.
8.      Pendidikan Inklusif yang tepat bagi komunitas Tuli adalah meyakini bahwa setiap anak adalah cerdas, setiap anak adalah juara, setiap anak adalah unik dan berbeda, menjadi berani berbeda adalah bagian dari identitas dirinya. Pendidikan inklusif hendaknya tidak menghilangkan hak linguistics setiap individu dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Situasi kelas bilingual yang inklusif adalah seperti foto dibawah ini:







           

Sekali lagi, teringat ucapan seorang kawan sejati saya, bahwa dengan memberi ruang pada perbedaan kita dapat menyatukan dua dunia yang berbeda. Orang-orang Tuli tersingkir dari kehidupan sehari-hari karena perbedaan mereka tidak dikenali. Jangan lupa, rintangan mereka adalah bahasa, yang sama sekali tidak berhubungan dengan lingkungan yang tidak akses. Jadi kita harus berpikir bahasa sebagai identitas kultural. Karenanya, berbeda itu penting bagi orang-orang Tuli. Menempuh pendidikan di sekolah khusus yang mengajarkan bahasa isyarat juga penting untuk mempertahankan bahasa mereka, menyediakan penterjemah bahasa isyarat bagi murid tuli yang sekolah di sekolah umum pun juga sangat penting untuk memudahkan mereka mengakses informasi di kelas tanpa menghilangkan bahasa mereka. Hak mereka sudah diatur dalam Vienna Declaration and Programme of Action yang menyatakan bahwa :
 “ … the persons belonging own culture to national or ethnic, religious and linguistic minorities have their right to enjoy their own culture, to profess and practise their own religion and to use their own language in private and in public, freely and without interference or any form of discrimination”, juga dalam Convention on the Rights of the Child, artikel 30 : “ ….right to enjoy his Or her own culture, ….., or to use his or her own language.”
Tentunya pernyataan bahasa isyarat sebagai bahasa yang memiliki struktur tata bahasa dan linguistik tersendiri sudah dibuktikan oleh banyak peneliti diseluruh dunia dan diakui oleh UN, salah satunya adalah Sign language is a complex language with its own syntax, a ’very richly developed language” (Vygotsky, 1996a, p.91). Sign language is a language which uses hands to give the meanings, which is to be understood through visual way. Sign language like other spoken language, has phonology, morphology, syntax, semantic and linguistics rules to be called as a ’language’. Sign languages are visual-gestural languages, while spoken languages are auditory-vocal languages (Markku Jokinen, 2005).
============ *** ==============